TANGGAPAN TERHADAP BUKU
PELATIHAN SHALAT KHUSYU‘
Shalat sebagai meditasi tertinggi dalam Islam
Karya Abu Sangkan
OLEH
Dr. Muhammad Amin A. Samad
CANBERRA
April, 2009
بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْم
وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ
فِيْ أُمُوْرِالدُّنْيَا وَالدِّيْن
DAFTAR ISI
Halaman
Daftar isi ………………………………..………… iii
Ucapan terima kasih ……………………………….. iv
Sistem transliterasi ………………………………… v
Pengantar ……………………..…………………… vi
1. Pendahuluan ……………………………………… 1
2. Kandungan buku ………………………………… 2
3. Apakah khusyu’ itu ……………………………… 2
4. Roh (Ruh) termasuk rahasia Allah .......................... 12
5. Arti wajh (wajah) dalam al-Qur’ān ....................... 13
6. Keterangan tentang ayat 45-46 surah al-Baqarah .. 19
7. Arti kata s.abr dalam al-Qur’ān .............................. 24
8. Penggunaan ism al-fā‘il, (active participle, nomen
agentis), dan ism al-maf‘ūl (passive participle,
nomen patientis) dalam al-Qur’ān .......................... 27
9. Sebab turunnya ayat 183 dari surah al-Baqarah.... 31
10. Arti kata t.uma’nīnah dalam al-Qur’ān ……… 34
11. Apakah waktu duduk iftirasy tempat untuk
berkonsultasi dengan Allah? .................................. 41
12. Bacaan dan doa sebebelum, waktu sedang dan
sesudah berwudhu’ .............................................. 45
13. Apakah kita harus menghilangkan rasa takut
dalam mengerjakan shalat? .................................... 53
14. Apakah yoga itu? ................................................ 56
15. Ceramah Ustadh ‘Amr Khālid tentang Khusyu‘
dalam Shalat ………………………………… 75
16. Ketenangan jiwa (الطُّمَأْنِيْنَة) oleh Mīkhā’īl Na‘īmah
(1889-1988) ………………………………… 85
Kesimpulan .............................................................. 87
Kata Penutup ……………………………………. 90
Lampiran A. Mantra …………………………… 91
Lampiran B. Sya’ir Mīkhā’īl Na‘īmah, not dan lagunya .. 94
Bibliografi ………………………………………… 96
Pengarang ……………………………………… 99
UCAPAN TERIMA KASIH
Kita panjatkan puji syukur ke hadirat Allah Swt, Yang dengan hidayat dan tawfiq-Nya dan atas bantuan material serta spritual dari kawan-kawan dari masyarakat Islam Indonesia di Melbourne - terutama dari Bapak Muhammed Edwars, Presiden Indonesian Muslim Community of Victoria, Bapak Dwarka Dass (Dawood bin Abdullah), yang membantu dan teman-teman lainnya - akhirnya buku kecil ini dapat terbit. Kepada mereka, saya ucapkan banyak terima kasih, semoga bantuan tersebut mendapat pahala dari Allah Swt, dan semoga mereka tetap mendapat hidayah Allah, mendapat rezki yang murah dan berkah, umur panjang, serta kebahagiaan dunia-akhirat.
Terima kasih juga saya sampaikan kepada Sdr. Ahmad Zaky, Direktur percetakan Pustaka Alvabet, beserta seluruh rekan-rekan, karena berkat kerja-samanya, naskah ini bisa dikodifikasikan dalam bentuk buku. Tak lupa juga, kepada kawan-kawan yang telah memberikan dorongan untuk menerbitkan buku kecil ini setelah membaca draftnya saya sangat berterima kasih. Semoga karya ini bisa membawa manfaat bagi kita semua. Amin
SISTEM TRANSLITERASI
Transliterasi dari tulisan/kata dalam bahasa Arab yang digunakan dalam buku ini adalah gabungan dari sistem Library of Congress di Amerika Serikat dan Islamic Studies, McGill University di Montreal, Kanada. Perbedaannya dengan transliterasi Indonesia terutama pada 8 huruf, misalnya ث = th [ts], = sh [sy], ص = s. [sh] dan ظ = z. [zh]. Kata yang lazim di pakai seperti hadits, khusyu', shalat dan zhalim ditulis dalam transliterasi Indonesia. Adapun nama Arab dapat juga digunakan juga sistem transliterasi Indonesia apabila itu yang lebih umum dipakai. Kata مَذْهَبْ misalnya dapat dipakai madzhab atau mdhhab, tetapi kata طُمَأْنِيْنَة lebih banyak dipakai uma’nnah dari pada thuma'ninah. Untuk membedakan antara huruf alif dan huruf hamzah dengan huruf ع (‘ain), bilamana diperlukan, untuk huruf ع digunakan tanda ‘, sedang untuk huruf alif atau hamzah digunakan tanda ’, seperti kata عُلَمَاء ditulis dengan ‘ulamā’. Namun karena kata ini sudah menjadi bahasa Indonesia, maka dapat ditulis biasa saja, seperti ulama.
a. Huruf mati:
ا = a atau ’ ب = b ت = t ث = th [ts] ج = j ح = خ = kh د = d ذ = dh [dz] ر = r ز = z س = s ش = sh [sy] ص = s. [sh] ض = d. [dh]
ط = t. [th] ظ = z. [zh] ع = ‘ غ = gh ف= f
ق = q ك = k ل = l م = m ن = n هـ = h و = w ي = y [atau i] ء = ’ (seperti alif)
b. Huruf hidup:
Pendek: Panjang:
Fath.ah --َ--- : = a ـا = ā
Kasrah --ِ--- : = i ـي = ī
D.ammah --ُ--- : = u ـو = ū
Pengantar
بِسْـمِ اللهِ الرَّحمْـنِ الرَّحِيْـم
Setiap tahun, saya berusaha berkunjung dari kediaman saya di Canberra ke Melbourne, tempat saya menjelesaikan dissertasi pada Universitas Melbourne tentang Ibn Qutaybah (w. 276H/889M) dan sumbangannya terhadap tafsir al-Qur’ān. Kota ini adalah salah satu kota yang sangat berkesan dihati saya, selain Kairo dan Montreal. Di kota ini, saya banyak menimba ilmu dan menemukan banyak kawan sejati yang selalu membantu saya, terutama dalam belajar, tanpa mengharapkan imbalan selain pahala dari Allah Swt. Sebagai tanda penghargaan atas jasa-jasa mereka, sekaligus untuk kian mempererat hubungan persaudaraan - disamping untuk mendapat kawan baru - saya mengunjungi mereka sekurang-kurangnya sekali dalam setahun. Kunjungan ini juga dimaksudkan agar tidak seperti kata pepatah: “kacang lupa akan kulitnya,” dan memegang pepatah Arab, زُرْ غِبّاً تَزْدَدْ حُبّاً “Berkunjunglah sewaktu-waktu agar cinta bertambah.” Apalagi, diantara mereka, setelah waktu berjalan begitu lama, sudah banyak yang sakit-sakitan. Ini menambah dorongan saya untuk berkunjung ke sana.
Seperti biasa, setiap kali berkunjung ke Melbourne, saya selalu mendapatkana sesuatu yang baru. Pada kunjungan saya yang terakhir tahun lalu (2008) saya disodori oleh seorang kawan buku Pelatihan Shalat Khusyu’ karangan Abu Sangkan, yang kabarnya beliau baru saja kembali dari kunjungannya ke Melbourne. Buku itu sangat menarik bagi saya karena saya menemukan banyak hal baru, lalu saya pinjam dari perpustakaan Mesjid Westall yang dibangun masyarakat Indonesia di Clayton South. Saya jadi teringat pepatah Mesir yang mengatakan كُلّ ُجَدِيْدٍ لَذِيْذ “setiap yang baru itu enak (menarik)”.
Tetapi, setelah halaman demi halaman saya baca, saya menemukan banyak hal yang tidak sesuai dengan apa yang telah saya pelajari, apalagi hal ini menyangkut masalah terpenting dalam ibadah, yaitu shalat khusyu’. Ini mengingatkan saya pada hadits Nabi yang panjang dari Jābir bin Abdullah, yang isinya antara lain,
...وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا
وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
وَكُلُّ ضَلَالَةٍ فِي النَّار...ِ
(سُنَنُ النَّسَائِي, كِتَابُ الْخطْبَة , ج ٦ ص۲۷)
…dan hal yang seburuk-buruknya adalah yang
diada-adakan, dan setiap yang diada-dakan adalah bid’ah,
dan setiap bid’ah adalah kesesatan, dan setiap kesesatan
membawa masuk Neraka… (HR al-Nasā’ī)
Para ulama berpendapat, bahwa bid‘ah yang dimaksud dalam hadits ini adalah yang menyangkut ibadah, misalnya shalat dengan ruku’ dua kali atau sujud sekali saja. Adapun hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan kita sehari-hari, sekalipun banyak yang bid‘ah, tetapi masuk kategori bid‘ah yang dibolehkan, tidak termasuk bid’ah yang diharamkan. Para ulama membagi bid‘ah kepada 5 bagian, seperti halnya segala sesuatu masuk kedalam salah satu darikategori yang 5 itu, yaitu: wajib, sunnah, mubah (dibolehkan), makruh dan haram. Dalam hal shalat kita harus lebih berhati-hati, jangan sampai kita mengejar bid‘ah yang kita anggap wajib atau minimalnya sunnah, ternyata termasuk bid‘ah yang makruh, apalagi haram. Na‘ūdhu billāh min dhālik.
Dalam kehidupan kita, banyak sekali hal yang kita sangka sebagai suatu “kebetulan”, justru kerap terjadi berturut-turut. Hal ini menyebabkan kita berpikir, apakah ini semua melulu kebetulan, atau memang sengaja ditakdirkan oleh Allah Yang Maha Mengetahui supaya kita menyadarinya dan berbuat sesuatu dari kumpulan kebetulan itu. Buku kecil yang “kebetulan” ada ditangan anda ini termasuk hasil dari sekian banyak “kebetulan” itu.
Ketika saya berkunjung ke Makassar tahun lalu (2008) saya menemukan di antara tumpukan buku pelajaran agama di sekolah yang tidak dipakai lagi, Buku Kegiatan Amaliyah Ramadhan untuk SD/MI oleh Departement Agama Kantor Wilayah Propinsi Sulawesi Selatan pada tahun 2001. Adik saya, Syamsudduha, adalah guru agama S.D.; almarhum suaminya, Drs. Alwi Mattebba, juga guru agama di PGA.; adik saya yang satu lagi, Dra. Badriyah, juga guru agama, tapi saya tidak sempat bertanya siapakah di antara mereka yang pernah memakai buku tersebut disekolah.
Dalam kunjungan saya ke Sydney, sembari mengunjungi adik saya yang bungsu, Syamsiah, saya ke toko buku di Lakemba – wilayah yang sebagian besar penghuninya beragama Islam, terutama orang Arab dari Lebanon, “kampung Arab”nya Sydney, dimana imam mesjidnya, Syeikh Tajuddin al-Hilali, sering diwawancarai di TV Australia - “kebetulan” saya menemukan buku terkenal yang sudah lama saya idamkan, yaitu Fiqh Islam yang isinya perbandingan hukum Islam, terdiri dari 11 julid (kira-kira 14 000 halaman), karangan Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaylī. “Kebetulan” juga adik saya membawa mobil, dan “kebetulan” keponakan saya Ervan ikut, sehingga ia bertugas membawa buku-buku yang berat itu itu ke mobil. Belum selesai sampai di situ, “kebetulan” pula saya melihat kaset-kaset kumpulan ceramah Ustādz ‘Amr Khālid tentang ibadah, diantaranya menyangkut shalat khusyu’, dan “kebetulan” sedang diobral (seharga kaset kosong), sehingga tidak ada alasan bagi saya untuk tidak membelinya (kecuali jika saya sudah sok pintar dan merasa tidak perlu diceramahi, a‘ūdhu billāh!). Buku-buku dan kaset ini semua menjadi bahan bacaan saya dalam menulis buku ini.
Ini baru “kebetulan” pendahuluan. “Kebetulan” berikutnya, saya ke Melbourne setelah Pak Abu Sangkan, penulis Pelatihan Shalat Khusyu’ tersebut, sudah pergi, jadi tidak perlu ada dialog yang kemungkinan dapat menyinggung perasaan, dan saya tidak harus mengambil sikap, karena belum membaca buku karangan beliau. Kalau saya datang sebelum beliau datang, mungkin buku beliau belum ada diperpustakaan Mesjid Westall.
Syair yang berjudul T.uma’nnah karangan Mīkhā’īl Na‘īmah pada akhir buku ini saya cantumkan karena sangat mengesankan. “Kebetulan” saya menemukan kumpulan syair yang sudah saya terjemahkan, diantaranya syair ini. Isinya adalah contoh sikap orang yang bertawakkal kepada Allah, percaya kepada qada’ dan qadar (salah-satu rukun iman), sekalipun beliau kemungkinan besar beragama Kristen mengingat namanya dan asalnya dari Lebanon, dimana jumlah orang Kristen hampir sama dengan jumlah orang Islam di sana. (Masing-masing menganggap merekalah yang mayoritas, tetapi kenyataannya menurut konstitusi mereka, yang menjadi presiden harus orang Kristen Maronit, sedang perdana menterinya orang Islam Sunni).
Kritik membangun dan feed-back dari pembaca akan saya tanggapi dengan segala senang hati. Banyak hal yang Anda ketahui, saya tidak tahu. Karena itu, kita perlu banyak saling belajar dan memberi masukan untuk mendapatkan yang lebih baik. “Tak ada gading yang tak retak”, begitulah kata pepatah. Orang Inggris mengatakan “Nothing is perfect” dan “To err in human.” Dan mungkin, “retak” itu tampak oleh pembaca tetapi tidak tampak oleh saya. Semoga pada penerbitan berikutnya (insya Allah) buku ini dapat diperbaiki kekurangan dan kesalahannya. Selamat membaca buku ini dapat diperbaiki kekurangan dan kesalahannya. Selamat membaca buku kecil yang “kebetulan” di tangan Anda, semoga amal ibadah kita selalu diterima Allah S.w.t. Amin!
Canberra, April, 2009
Penulis
M. Amin Abdul-Samad
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
الْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ اْلعَالَمِيْن, وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَي خَاتَمِ اْلأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْن
سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلىَ يَوْمِ الدِّيْن, أَمَّا بَعْد
1. Pendahuluan
Buku Pelatihan Shalat Khusyu’ karya Abu Sangkan, dalam waktu kurang dari empat tahun, sudah dicetak 13 kali, rata-rata tiga kali setahun. Ini menunjukkan, buku tersebut sangat laku dan populer di Indonesia. Artinya, umat Islam Indonesia sangat peduli dan menaruh perhatian terhadap shalat. Mereka ingin agar mereka dapat melakukan shalat secara khusyu‘. Tentu, ini suatu hal yang sangat menggembirakan. Siapa bilang bangsa Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam dan menjadi komunitas Muslim terbesar didunia ini, tidak perduli dengan shalat, apalagi shalat khusyu’ (khushū‘)?
Sekalipun buku karya Abu Sangkan ini sangat populer di Indonesia, bukan berarti luput dari kesalahan dan kekhilafan, karena penulisnya adalah seorang manusia juga yang tidak luput dari kekhilafan. Maka dari itu, sebagai bentuk masukan dan kritik terhadap buku tersebut, saya ingin menyampaikan beberapa hal yang tidak sesuai dengan pendapat para ulama terdahulu dan pemahaman saya dari apa yang telah saya pelajari. Saya tidak suka menyalahkan orang, terutama dalam hal yang meragukan, karena kemungkinan yang dianggap salah itulah yang benar, sehingga saya termasuk golongan orang yang jāhil murakkab (complex ignorant), yaitu “tidak tahu bahwa ia tidak tahu.”
Adapun hal yang diyakini kebenarannya, selain dari yang benar itu kita yakini salahnya, sekalipun manifestasinya berbeda-beda. Sebagai contoh yang sederahana: kita yakin pada angka 5, dan yakin ditambah dengan 5, kita yakin bahwa jumlahnya sama dengan 10. Tapi ini juga sama dengan 4 + 6, 3 + 7, bahkan 15 – 5. Selain dari jumlah 10 adalah salah. Apabila kita tidak yakin akan angka-angka itu, hasilnyapun tidak kita yakini.
Dalam tulisan ini, seandainya saya membenarkan yang benar dan menyalahkan yang salah, itu semua dari Allah SWT yang Maha Mengetahui. Sebaliknya, seandainya saya sampai menyalahkan yang benar dan membenarkan yang salah, saya berlindung kepada Allah, dan itu semuanya dari kesalahan saya, atau dari bisikan Setan yang terkutuk, dan saya memohon ampunan Allah. Yang saya tekankan di sini bukanlah membenarkan dan menyalahkan, melainkan menyatakan perbedaan pemahaman saya dengan penulis Pelatihan, semoga bermanfaat bagi pembaca, sehingga menambah luasnya cakrawala pemahaman kita tentang agama kita. Di Australia pendapat yang berbeda dihargai, karena suatu waktu “diperlukan” sebagai suatu alternatif. Bahkan di pemerintahan Australia pun partai yang kalah menjadi partai “opposisi” yang kerjanya antara lain memengeritik polisi pemerintah yang dianggapnya salah atau kurang baik.
2. Kandungan Buku
Buku Pelatihan shalat Khusyu' karya Abu Sangkan berisi 136 halaman. Meskipun judulnya demikian, tetapi sebagian besar isinya adalah persiapan untuk shalat khusyu, antara lain tentang shalat sebagai perjalanan ruhani (7 halaman), shalat merupakan pertemuan hamba dengan Allah (17 halaman), mencoba konsentrasi (7 halaman), uma’nnah (11 halaman), wudu (4 halaman), dan persiapan untuk latihan relaksasi dan olah raga spiritual (4 halaman) - seluruhnya 70 halaman.
Pada halaman berikutnya barulah diterangkan tentang wudu', dengan berdzikir yaitu dengan mengingat Allah Swt sambil membasuh anggota wudu’ (8 halaman). Sayang, dalam pembahasan tersebut tidak disebutkan bacaan-bacaan ketika membasuh anggota-anggota wudu’, padahal bacaan ini juga penting untuk persiapan menjalankan shalat khusyu’. Sesudah itu barulah masuk ke topik buku, yaitu latihan shalat khusyu’ (29 halaman), yang berarti kurang dari 1/5 dari isi buku.
3. Apakah Khusyu‘ itu?
Pada halaman 3 dari buku tersebut dikatakan,
“Sejak kita mulai belajar shalat di masa kecil, kita tidak
diajarkan bagaimana meraih rasa khusyu’, karena sang guru
telah menetapkan itu sebagai hal yang tidak mungkin.”
Pada kalimat bagian pertama ada benarnya –jangankan tentang cara meraaih raa khusyu', bahkan detail tentang wudu' dan shalat pun tidak diajarkan kepada mereka - karena pada anak kecil yang sangat dipentingkan adalah kebiasaan melakukan shalat, dan selebihnya paling dikatakan kepada mereka bahwa dalam shalat mereka menghadap langsung pada Maha Pencipta. Anak kecil suka mengkhayal, itu adalah normal. Kalau mereka sudah dapat melakukan wudu dan shalat dengan betul, apalagi kalau mereka dapat membaca surah Fatihah, sudah hal luar biasa, jadi jangan menyalahkan guru ngaji kita waktu kecil. Adapun bagian kedua dari kalimat itu bahwa kita tidak pernah diajarkan begaimana supaya khusyu’ dalam shalat karena hal itu tidak mungkin –dan karena itu terbitlah buku Pelatihan Shalat Khusyu’) saya anggap suatu hal yang dilebih-lebihkan, karena:
1. Allah yang berfirman:
قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ (المؤمنون, ١-٢)
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman,
(yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya…
(Qur’an 23:1-2),
Merujuk ayat di atas, tidak masuk akal sang guru mengatakan bahwa khusyu’ itu tidak mungkin dicapai. Dan tidak mungkin tidak pernah ada sama sekali seorang guru atau ulama yang menerangkan cara-cara shalat khusyu’, karena dalil yang mendasari terecpainya shalat khusyu' sangat kuat, yakni firma Tuhan (al-Qur'an). Lagi pula, tidak mungkin Nabi s.a.w. tidak menerangkan cara-cara shalat khusyu’ kepada sahabat - jika shalat khusyu’ perlu diterangkan caranya lantaran susah dilakukan - sebab tanpa keterangan Nabi, shalat khusyu’ itu takkan tercapai.
2. Jika Nabi s.a.w. menyampaikan cara-cara melakukan shalat secara khusyu’, tentulah hal itu pasti sampai kepada kita, karena tidak mungkin para ulama menyembunyikannya dan tidak mewariskan kepada kita. Dan ternyata memang ada, sebagiannya sudah disebutkan dalam buku Pelatihan Shalat Khusyu’, tetapi tidak mendetail. Penulis buku tersebut, Abu Sangkan, mengatakan:
“Nabi Muhammad menyarankan, agar setiap melakukan gerakan shalat kita dianjurkan bersikap rileks (uma’nnah) sehingga kita bisa mengisitrahatkan tubuh, serta dapat mempertemukan tubuh dengan vibrasi hati yang telah diterangi nur Ilahi.”
Jadi menurutnya, supaya shalat menjadi khusyu’ Nabi s.a.w. menganjurkan agar kita rileks pada setiap gerakan sehingga kita dapat mengistirahatkan tubuh dan dapat mempertemukannya dengan vibrasi hati yang telah diterangi chaya yang berasal dari Allah. Dengan kata lain, tegas Abu Sangkan Nabi mengajarkan bahwa, syarat shalat khusyu’ adalah tubuh (seluruhnya?) harus releks sehingga beristirahat. Dan inilah arti dari kata uma’nnah yang difahaminya. Pemahaman tersebut berbeda dengan yang saya fahami dari hadits Nabi, baik dari arti kata uma’nnah itu sendiri, maupun saat uma’nnah itu harus ada; akan saya terangkan di bagian lain.
Tanpa rileks vibrasi hati yang telah diterangi dengan nur Ilahi tidak akan bertemu dengan tubuh. Mungkin maksudnya, hati menyadari apa yang diperbuat tubuh dan diucapkan oleh lidah waktu shalat. Tetapi mungkin pula lebih dari itu, karena hati harus diterangi nur Ilahi, dan karenanya harus ada vibrasi (getaran) pada hati. “Vibrasi hati“ dalam bahasa Arab adalah dhabdhabatu’l-qalb (ذَبْذَبَةُ اْلقَلْبِ). Istilah ini tidak saya ketemukan baik dalam hadits Nabi maupun dalam Qur’ān. Yang ada dalam Qur’ān adalah مُذَبْذَبٌ , “orang yang ragu-ragu“, yang hanya ada dalam satu ayat, yaitu tentang orang munafiq,
مُذَبْذَبِينَ بَيْنَ ذَلِكَ لَا إِلَى هَؤُلَاءِ وَلَا إِلَى هَؤُلَاءِ وَمَنْ يُضْلِلِ اللَّهُ فَلَنْ تَجِدَ لَهُ سَبِيلًا
(النساء , ١٤٣)
Mereka dalam keadaan ragu-ragu antara yang
demikian (imanatau kafir): tidak masuk kepada golongan
ini (orang-orang beriman) dan tidak (pula) kepada
golongan itu (orang-orang kafir)...
(Q. 4:143)
Kembali kepada masalah khusyu’, timbul banyak pertanyaan: apakah arti khusyu’ itu? Apakah shalat yang diterima hanya yang khusyu’? Kalau “ya,” apakah shalat yang khusu’nya kurang, juga diterima? Bagaimana shalat Nabi s.a.w., apakah selalu khusyu’? Yang pasti, shalatnya selalu diterima Allah, karena beliau adalah teladan kita dalam berbagai hal, tentu cara shalatnya juga merupakan teladan. Jika dikatakan selalu khusyu’, apakah termasuk juga ketika beliau shalat sembari membawa dipundak beliau cucu beliau Umāmah, putri Zainab? Dalam sebuah hadits disebutkan sebagai berikut:
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ عَامِرِ بْنِ
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ عَنْ عَمْرِو بْنِ سُلَيْمٍ الزُّرَقِيّ ِ عَنْ أَبِي قَتَادَةَ
الْأَنْصَارِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّي وَهُوَ حَامِلٌ
أُمَامَةَ بِنْتَ زَيْنَبَ بِنْتِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلِأَبِي الْعَاصِ
بْنِ رَبِيعَةَ بْنِ عَبْدِ شَمْسٍ فَإِذَا سَجَدَ وَضَعَهَا وَإِذَا قَامَ حَمَلَهَا
(صَحِيْحُ الْبُخَارِي ج۲ ص ۳۳).
... dari Abu Qatadah al-Ansari bahwa Rasulullah
s.a.w. shalat sambil membawa Umamah putri Zaynab
putri Rasulullah dan putri Abu’l-‘Ā ibn Rabi’ah ibn
‘Abd Syams (dipundak beliau); kalau beliau sujud
beliau meletakkannya, dan kalau beliau berdiri
beliau membawanya (dipunggung ).
(HR Bukhari)
Hadits yang hampir sama dari Abū Qatādah diriwayatkan juga oleh Imam Mālik , Imam Muslim, Imam al-Nasā’ī, Ibn Khuzaymah, dan Ibn al-Mundhir.
Pada hadits lain diriwayatkan pula bahwa Mu‘ādh (Mu'adz) bin Jabal menyampaikan kepada Nabi bahwa seorang ma’mum waktu maghrib manakala ia menjadi imam, berhenti jadi ma’mum lalu shalat sendiri. Nabi memanggil orang tersebut, lantas ditanya mengapa ia berbuat dimikian. Jawabnya, karena Mu‘ādh membaca ayat yang panjang-panjang, sedang hari sudah hampir malam, sementara ia harus pergi menyirami pohon kurmanya. Alasan ini diterima Nabi, bahkan Mu‘ādh sendiri dinasihati beliau agar tidak membaca ayat panjang-panjang. Beliau tidak menyuruh sahabat Nabi tersebut mengulang atau mengqada shalatnya, yang berarti shalatnya dianggap sah. Hadits-hadits itu bunyinya sebagai berikut:
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ صُهَيْبٍ وَقَالَ مَرَّةً أَخْبَرَنَا
عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ صُهَيْبٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ كَانَ مُعَاذُ بْنُ جَبَلٍ يَؤُمُّ قَوْمَهُ فَدَخَلَ
حَرَامٌ وَهُوَ يُرِيدُ أَنْ يَسْقِيَ نَخْلَهُ فَدَخَلَ الْمَسْجِدَ لِيُصَلِّيَ مَعَ الْقَوْمِ فَلَمَّا رَأَى مُعَاذًا طَوَّلَ
تَجَوَّزَ فِي صَلَاتِهِ وَلَحِقَ بِنَخْلِهِ يَسْقِيهِ فَلَمَّا قَضَى مُعَاذٌ الصَّلَاةَ قِيلَ لَهُ إِنَّ حَرَامًا دَخَلَ الْمَسْجِدَ
فَلَمَّا رَآكَ طَوَّلْتَ تَجَوَّزَ فِي صَلَاتِهِ وَلَحِقَ بِنَخْلِهِ يَسْقِيهِ قَالَ إِنَّهُ لَمُنَافِقٌ أَيَعْجَلُ عَنْ الصَّلَاةِ
مِنْ أَجْلِ سَقْيِ نَخْلِهِ قَالَ فَجَاءَ حَرَامٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمُعَاذٌ عِنْدَهُ
فَقَالَ يَا نَبِيَّ اللَّهِ إِنِّي أَرَدْتُ أَنْ أَسْقِيَ نَخْلًا لِي فَدَخَلْتُ الْمَسْجِدَ لِأُصَلِّيَ مَعَ الْقَوْمِ
فَلَمَّا طَوَّلَ تَجَوَّزْتُ فِي صَلَاتِي وَلَحِقْتُ بِنَخْلِي أَسْقِيهِ فَزَعَمَ أَنِّي مُنَافِقٌ فَأَقْبَلَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى مُعَاذٍ فَقَالَ أَفَتَّانٌ أَنْتَ أَفَتَّانٌ أَنْتَ لَا تُطَوِّلْ
بِهِمْ اقْرَأْ بِسَبِّحْ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى وَالشَّمْسِ وَضُحَاهَا وَنَحْوِهِمَا
(مُسْنَدُ أَحْمَد ج ٢٤, ص ٣٤٥)
… Anas bin Mālik berkata, “Mu‘ādh bin Jabal
sedang mengimami kaumnya, maka datanglah H.arām
yang akan menyirami pohon kurmanya lalu masuk ke mesjid
dan ikut shalat. Ketika dilihatnya Mu‘ādh shalatnya panjang ia
teruskan shalatnya dengan shalat sendiri lalu cepat-cepat pergi
menyiram pohon kurmanya. Setelah Mu‘ādh selesai shalat ia
diberitahu, ‘H.arām telah masuk mesjid dan ketika melihat shalat
Anda panjang ia teruskan shalatnya dengan shalat sendiri lalu ia
cepat-cepat pergi menyiram pohon kurmanya.’Berkatalah Mu‘ādh,
‘Sesungguhnya dia itu munafiq, masa dia mempercepat shalatnya
hanya karena mau menyiram pohon kurmanya.’ Berkatalah (Anas
bin Mālik), “Maka datanglah H.arām kepada Nabi di mana Mu‘ādh
bersama beliau, dan berkata, ‘O Nabi Allah, saya (waktu itu) mau
menyiram pohon kurmaku, lalu saya masuk ke mesjid untuk shalat
bersama jama‘ah. Ketika Mu‘ādh memperpanjang shalatnya saya
teruskan shalat saya dengan shalat sendiri dan cepat-cepat pergi
menyiram pohon kurma saya, lalu ia mengira bahwa saya
munafiq.’Maka berpalinglah Nabi s.a.w. kepada Mu‘ādh
dan bersabda,‘Apakah engkau tukang fitnah, apakah
engkau tukang fitnah, jangan memperpanjang shalat
dengan mereka, Bacalah سَبِّحْ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى,
وَالشَّمْسِ وَضُحَاهَا dan sepertinya’”
(HR Imam Ahmad dalam Musnad-nya)
حَد َّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبَادَةَ أَخْبَرَنَا يَزِيدُ أَخْبَرَنَا سَلِيمٌ حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ دِينَارٍ
حَدَّثَنَا جَابِرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ مُعَاذَ بْنَ جَبَلٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كَانَ يُصَلِّي مَعَ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ يَأْتِي قَوْمَهُ فَيُصَلِّي بِهِمْ الصَّلَاةَ فَقَرَأَ بِهِمْ الْبَقَرَةَ قَالَ فَتَجَوَّزَ
رَجُلٌ فَصَلَّى صَلَاةً خَفِيفَةً فَبَلَغَ ذَلِكَ مُعَاذًا فَقَالَ إِنَّهُ مُنَافِقٌ فَبَلَغَ ذَلِكَ الرَّجُلَ فَأَتَى
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا قَوْمٌ نَعْمَلُ بِأَيْدِينَا َنَسْقِي
بِنَوَاضِحِنَا وَإِنَّ مُعَاذًا صَلَّى بِنَا الْبَارِحَةَ فَقَرَأَ الْبَقَرَةَ فَتَجَوَّزْتُ فَزَعَمَ أَنِّي
مُنَافِقٌ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا مُعَاذُ أَفَتَّانٌ أَنْتَ ثَلَاثًا
اقْرَأْ وَالشَّمْسِ وَضُحَاهَا وَسَبِّحْ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى وَنَحْوَهَا
(رواه البخاري في صحيحه ج١٩, ص ٦٢)
…Jabir bin Abdullah menceriterakan bahwa
Mu‘ādh bin Jabal r.a. shalat bersama Nabi s.a.w.,
lalu datanglah kaumnya, maka ia shalat bersama
(mengimami) mereka, dan dibacanya surah al-Baqarah.
Maka berkatalah ia (Jabir) bahwa ada seseorang
yang meneruskan shalatnya dengan shalat sendiri yang
ringan, maka sampailah berita itu kepada Mu‘ādh,
dan berkatalah bahwa ia itu munafiq. Berita itu
sampai kepada orang itu, lalu ia mendatangi Nabi
s.a.w. dan berkata, “O Rasulullah, kami adalah kaum
yang bekerja dengan tangan menyiram sendiri dengan
air (tanaman kami) dengan alat penyiram kami,
dan kemarin Mu‘ādh mengimami kami dengan
membaca surah al-Baqarah, maka saya teruskan
shalat saya dengan shalat sendiri, lalu ia mengira
bahwa saya munafiq.” Berkatalah Nabi s.aw.,
“O Mu‘ādh, apakah engkau tukang fitnah,
(tiga kali), bacalah َسَبِّحْ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى ,
وَالشَّمْسِ وَضُحَاهَا dan sepertinya.”
(HR Bukhari dalam Saheh-nya)
حَدَّثَنَا زَيْدُ بْنُ الْحُبَابِ حَدَّثَنِي حُسَيْنٌ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ بُرَيْدَةَ
قَالَ سَمِعْتُ أَبِي بُرَيْدَةَ يَقُولُ إِنَّ مُعَاذَ بْنَ جَبَلٍ يَقُولُ صَلَّى بِأَصْحَابِهِ
صَلَاةَ الْعِشَاءِ فَقَرَأَ فِيهَا اقْتَرَبَتْ السَّاعَةُ فَقَامَ رَجُلٌ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَفْرُغَ فَصَلَّى
وَذَهَبَ فَقَالَ لَهُ مُعَاذٌ قَوْلًا شَدِيدًا فَأَتَى الرَّجُلُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَاعْتَذَرَ إِلَيْهِ فَقَالَ إِنِّي كُنْتُ أَعْمَلُ فِي نَخْلٍ فَخِفْتُ عَلَى الْمَاءِ فَقَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلِّ بِالشَّمْسِ وَضُحَاهَا وَنَحْوِهَا مِنْ السُّوَر
ِ(مُسْنَدُ أَحْمَد, حديث بريدة الأسلمي ج٤٦, ص٤٨٢)
… Abdullah ibnBuraydah berkata, “Saya
dengar dari ayahku Buraydah mengatakan
bahwa Mu‘ādh bin Jabal berkata bahwa ia shalat
mengimami para sahabatnya dan membaca اقْتَرَبَتْ السَّاعَةُ,
maka bangkitlah seseorang lalu meneruskan shalatnya dengan
shalat sendiri sebelum ia (Mu‘ādh) selesai shalat lalu pergi. Maka
berkatalah kepadanya dengan kata yang pedas, lalu orang itu
mendatangi Nabi s.a.w. dan menyampaikan penyesalannya
kepada beliau. Lalu ia berkata, “Sebenarnya (waktu itu) saya
bekerja di kebun korma dan saya kuatir (kehabnisan) air.”
Maka berkatalah Rasulullah (kepada Mu‘ādh),
“Shalatlah (waktu mengimami orang) dengan
membaca والشَّمْسِ وَضُحَاهَا dan surah-
surah (pendek) seperti itu.”
(HR Imam Ahmad dalam Musnad-nya).
Apakah shalat macam ini, shalat yang dilakukan seperti memburu waktu dengan mengingat tanamannya untuk disirami sebelum hari gelap, masih termasuk khusyu’? Padahal kurang konsentrasi? Tetapi Nabi menganggapnya sah. Pertanyaan sah-tidaknya shalat tanpa khusyu’ sudah dijawab sendiri oleh Abu Sangkan dalam bukunya tersebut, sebagai berikut:
…. Kita tidak dituntut untuk bisa khusyu’ [dalam
shalat], meredam marah, berahlak [sic.] mulia. Kita hanya
perlu datang kepada Allah [dalam shalat] dengan apa
adanya, tidak perlu merekayasa dengan “gaya teater”
yang penuh kepura-puraan. Inilah kita!...
Ini berarti, shalat tanpa khusyu’ sah-sah saja, sudah diterima Allah, sehingga khusyu’ itu diperlukan hanya untuk meningkatkan nilai shalat kita.
Apakah khusyu’ itu? Menurut al-Rāghib al-As.fahānī (w.ca. 423 H/1034 M) dalam bukunya Mufradāt Alfādh al-Qur’ān, khusyu’ adalah الضَّرَاعَةُ (kerendahan, kepatuhan, humbleness, submissiveness), yang keba-nyakan digunakan untuk kepatuhan anggota badan, sedang kata d.arā‘ah kebanyakan digunakan untuk kepatuhan hati (nurani). Adapun arti khusyu’ dalam al-Qur’ān, al-Dāmaghānī )w. 478 H/1085 M) dan Ibn al-Jawzī (w. 597 H/1207 M) menyebut empat menurut para ahli tafsir, yaitu:
1. الذُّلُّ وَ التَّذَلُّلُ (kerendahan diri, kepatuhan, humbleness, submissive-ness, and self-abasement), seperti dalam al-Qur’ān: يَوْمَئِذٍ يَتَّبِعُونَ الدَّاعِيَ لَا عِوَجَ لَهُ وَخَشَعَتِ الْأَصْوَاتُ لِلرَّحْمَنِ فَلَا تَسْمَعُ إِلَّا هَمْسًا (طه, ١٠٨) “…dan merendahlah semua suara kepada Tuhan Yang Maha Pemurah, maka kamu tidak mendengar kecuali bisikan saja.” Q. 20:108) وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ خَاشِعَةٌ (الغاشية , ٢). . “banyak muka pada hari itu tunduk terhina” (Q. 88:2), dan . خَاشِعَةً أَبْصَارُهُمْ تَرْهَقُهُمْ ذِلَّةٌ وَقَدْ كَانُوا يُدْعَوْنَ إِلَى السُّجُودِ وَهُمْ سَالِمُونَ (القلم ,٤٣) “(dalam keadaan) pandangan mereka tunduk tunduk kebawah, lagi mereka diliputi kehinaan. Dan sesungguhnya mereka dahulu (di dunia) diseru untuk bersujud, dan mereka dalam keadaan sejahtera” (Q 68:43). Jadi, khusyu’ dalam shalat adalah kita merendahkan diri dan patuh kepada-Nya, dengan pandangan tunduk kebawah.
2. َالْخَوْفُ (persaan takut, fear), seperti: فَاسْتَجَبْنَا لَهُ وَوَهَبْنَا لَهُ يَحْيَى وَأَصْلَحْنَا لَهُ زَوْجَهُ إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ (الأنبياء , ٩٠) “Maka Kami memperkenankan do’anya, dan Kami anugerahkan kepadanya Yahya dan kami jadikan isterinya dapat mengandung. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdo’a kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ (takut) kepada Kami.” (Q.21:90). Jadi, khusyu‘ dalam shalat adalah kita merasa takut kepada-Nya.
3. اَلتَّوَاضُعُ (kerendahan hati, humility, modesty, humbleness), seperti dalam al-Qur’ān: وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى الْخَاشِعِينَ (البقرة , ٥) “Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’ (rendah hati).” Q. 2:45). Jadi, khusyu’ dalam shalat menurut pengertian ini, adalah merendahkan diri kepada-Nya.
4. سُكُوْنُ اْلجَوَارِحِ (ketenangan anggota badan) dan ditambah oleh al-Dāmaghānī وَ رَمْيُ اْلبَصَرِ ِإلَى َمْوضِعِ السُّجُوْدِ (dan melemparkan pandangan ke tempat sujud), seperti: الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ (المؤمنون, ٢) “(yaitu) orang-orang yang khusyuk (tenang) dalam shalatnya.” (Q. 23:2). Khusyu’ dalam shalat, menurut ayat ini dan penafsiran para ahli tafsir, adalah tenang dan diamnya anggota badan, tidak bergerak - yang difahami juga oleh Abu Sangkan sebagai relaksasi anggota badan - ditambah dengan memusatkan pandangan ke arah tempat sujud, agar dapat berkonsentrasi dan pikiran tidak mengawang-awang.
Khusyu‘ dalam shalat menurut Ibn ‘Abbās (w. 67 H/678 M) adalah takut dan diam,” sedang menurut Qatādah adalah “perasaan takut (dalam hati) dan menundukkan pandangan”. Al-Awzā‘ī ketika ditanya tentang khusyu‘ dalam shalat, menjawab: “menundukkan pandangan, merendahkan diri, dan melunakkan hati (sedih)”. Adapun Muslim ibn Yassār, Imam Syafi‘ī, Ish.āq ibn Rāh.awayh (w. 238 H/852 M), Abū Thawr (w. 240 H/854-5 M) dan ahli ra’y mereka mengatakan bahwa khusyu‘ dalam shalat adalah “memandang ke tempat sujud”. Pendapat umum para ulama di atas berbeda dengan pendapat Imam Mālik yang membolehkan orang shalat memandang ke depan, seperti yang terdapat pada gambar pada halaman 2 dari buku Pelatihan Shalat Khusyu’ di mana nampak seseorang yang sedang bertakbir ihram, mengangkat tangannya, tetapi pandangannya ke depan, bukan kearah tempat sujud. Pendapat Imam Malik ini banyak ditentang banyak ulama, bahkan memandang ketempat sujud itu mereka anggap sebagai salah satu sunnat dalam shalat. Ibn Sīrīn mengatakan bahwa Nabi Muhammad s.a.w. (waktu shalat) mengangkat pandangan beliau ke langit, lalu beliau disuruh khusyu‘, maka beliau menundukkan pandangan ketempat sujud.
Kendati dikatakan bahwa mayoritas penduduk Marokko mengikuti madzhab Imam Malik, menurut pengamatan saya selama sebulan di sana kebanyakan mereka tidak mengikuti pendapat beliau dalam hal ini. Juga kebanyakan dari mereka melipat tangan waktu shalat, menyalahi madzhab beliau di mana tangan itu diluruskan kebawah waktu berdiri dalam shalat kecuali waktu mengerjakan shalat sunnat. Bagi madzhhab ini, dalam shalat yang wajib adalah makruh melipat tangan pada dada kecuali jika tidak ada maksud untuk disandarkan dan diistirahatkan pada dada.
Khusyu‘ dalam shalat menurut definisi madzhab (madhhab) adalah sebagai berikut:
a. Hanafi
Definisi khusyu’ dalam madzhab Hanafi tidak diketemukan, hanya disebutkan bahwa untuk mendapatkan khusyu’ orang yang shalat harus mengarahkan pandangannya ketempat sujudnya.
b. Maliki:
اَلْخُشُوْعُ هُوَ اسْتِحْضَارُ عَظَمَةِ اللِه تَعَالَى
وَهَيْبَتِهِ وَ أَنَّهُ لَايُعْبَدُ وَلَا يُقْصَدُ سِوَاهُ
Khusyu’ adalah menghadirkan [dalam pikiran
atau hati] kebesaran Allah Yang Maha Tinggi dan
keagungan-Nya, dan bahwa sesungguhnya tidak
ada yang disembah dan dituju selain-Nya.
Menurut mazhab Maliki khusyu’ itu pada dasarnya wajib. Adapun menghadirkan dalam hati dalam shalat bahwa perintah Allah sedang dipatuhi dengan melaksanakan shalat itu hukumnya sunnat dan no. 3 dari 48 sunnat dalam shalat pada mazhab ini.
c. Syafi‘i:
اَلْخُشُوْعُ فِيْ الصَّلَاةِ هُوَ حُضُوْرُ
اْلقَلْبِ وَسُكُوْنُ الْجَوَارِحِ
Khusyu’ dalam shalat adalah kehadiran
hati dan ketenangan anggota badan.
Khusyu‘ dan mengikuti bacaan (tadabbur) adalah sunnat dalam shalat, dan al-Zuhaylī menempatkan khusyu no. 32 dari sunnat dalam shalat menurut mazhab Syafi’i. Untuk lebih membantu mendapatkan khusyu’ hendaklah memasuki shalat dengan bergairah dan mengosongkan pikiran dari urusan dunia.
c. Hambali:
اَلْخُشُوْعُ مَعْنىً يَقُوْمُ فِيْ النَّفْسِ
يَظْهَرُ مِنْهُ سُكُوْنُ اْلأَطْرَافِ
Khusyu’ adalah suatu pengertian dalam jiwa
dinampakkan dengan tenangnya anggota badan.
Mazhab Hambali juga menganggap khusyu’ salah satu dari sekian banyak sunnat dalam shalat (kira-kira 72); al-Zuhaylī menempat-kannya no. 44.
4. Ruh termasuk Rahasia Allah.
Pada halaman 12 dari buku Pelatihan terdapat terjemahan ayat 85 dari surah al-Isrā’. Ayat itu berbunyi, sebb.
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلًا
(الإسراء , ٨٥)
Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh.
Katakanlah, “Ruh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah
kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.”
(Q. 17:85)
Menurut pengertian ayat ini, ruh itu adalah salah satu dari rahasia Tuhan yang tidak diketahui manusia, karena seluruh pengetahuan yang diberikan oleh Tuhan sangat sedikit. Pengertian ini juga sesuai dengan terjemahan bahasa Inggeris, seperti di bawah ini:
And they ask you
(O Muhammad) concerning
the Ruh (spirit). Say: “The Ruh (the spirit)
is one of the things, the knowledge of which
is only with my Lord. And of knowledge
you (mankind) have been
given only a little.
(Q. 17:85)
Namun Abu Sangkan, dalam bukunya tersebut, menterjemahkan sepotong dari ayat itu sebagai berikut:
…Tidaklah kalian mengetahui
tentang ruh kecuali hanya sedikit.
Ini berarti manusia ada pengetahuannya sedikit tentang ruh. Pengertian ini berbeda dengan pengertian penterjemah al-Qur’ān lainnya yang menganggap bahwa ruh itu urusan Tuhan, dan salah satu dari rahasia Tuhan, is one of the things, the knowledge of which is only with my Lord (salah satu dari hal-hal yang diketahui hanya oleh Allah). Terjemahan Abu Sangkan mungkin dimaksudkan bahwa beliau ada pengetahuan tentang ruh, dan dikaitkan dengan shalat khusyu’.
Jadi apa arti rūh. pada ayat di atas ? Al-Dāmaghānī menyebutkan enam arti rūh. dalam al-Qur‘ān, yaitu: rahmat, malaikat, Malaikat Jibril, wahyu, Nabi Isa dan kehidupan yang ada pada makhluq yang mempunyai ruh. Sebagai contoh untuk arti yang terakhir, ia menyebutkan ayat yang tersebut di atas . Seementara itu, al-As.fahānī menyebut ruh sebagai suatu yang menyebabkan sesuatu hidup, bergerak, mencari kemanfaatan dan menghindari kemudaratan. Sebagai contohnya, ia juga menyebutkan ayat di atas. Kemudian ia memberikan arti lain seperti yang diberikan oleh al-Dāmaghānī di atas.
5. Arti Wajh (Wajah) dalam al-Qur’ān
Surah al-An‘ām ayat 79, oleh Departemen Agama R.I. diterjemah-kan sebagai berikut:
إِنِّي وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَاوَاتِ
وَالْأَرْضَ حَنِيفًا وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ
(الأنعام ,٧٩)
Sesungguhnya aku menghadapkan
diriku kepada Tuhan yang menciptakan
langit dan bumi dengan cenderung kepada
agama yang benar, dan aku bukanlah
termasuk orang-orang yang
mempersekutukan Tuhan.
(Q. 6:79)
Adapun terjemahan yang diberikan oleh Kementerian Urusan Agama di Arab Saudi, adalah sebagai berikut:
Verily, I have turned my face towards Him
Who has created the heavens and the earth Hanifa
(Islamic Monotheism, i.e., worshipping none but
Allah Alone) and I am not of al-Mushrikun (i.e.,
the idolaters, polytheists, disbelievers in the
Oneness of Allah, pagans).
(Q. 6:79)
Sementara itu, Abu Sangkan menterjemahkan ayat tersebut sebagai berikut:
Aku hadapkan wajahku kepada
wajah Zat Yang Menciptakan langit dan
bumi selurus-lurusnya dan ruhku tidak
terhambat oleh benda-benda (syirk).
Di sini kata h.anīfan (cenderung kepada agama yang benar, yaitu agama monoteisme) diterjemahkan dengan “selurus-lurusnya”, sedang “dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan” , diterjemahkan dengan “dan ruhku tidak terhambat oleh benda-benda (syirk), di mana kata aku diterjemahkan dengan ruhku untuk menekankan ruh (roh) dalam menjalankan shalat. Tetapi, barangkali Abu Sangkan lupa, jasad juga tidak boleh dilupakan, karena manusia terdiri dari ruh dan jasad, keduanya bertanggung jawab pada Hari Kemudian. Kata aku dan ruhku jelas sangat berbeda. Kata aku termasuk di dalamnya ruh dan jasadku, sedang kata ruhku, tidak termasuk di dalamnya jasadku. Dalam menyembah Allah, tidak hanya ruh atau jasad saja yang menyembah, tetapi keduanya. Di akhirat, orang yang tidak menyembah Allah berdosa dan akan disiksa Allah sesuai janji-Nya, bukan hanya ruhnya, tetapi juga jasadnya, karena pada hari kebangkitan, jasad juga dibangkitkan, dan masing-masing anggota jasad mengakui perbuatannya, seperti yang diungkapkan dalam ayat al-Qur’ān di bawah ini:
الْيَوْمَ نَخْتِمُ عَلَى أَفْوَاهِهِمْ وَتُكَلِّمُنَا أَيْدِيهِمْ وَتَشْهَدُ أَرْجُلُهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ.
(يس, ٦٥)
Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah
kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksian kaki
mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan.
(Q. 36:65)
Banyak ayat-ayat al-Qur’ān yang menunjukkan bahwa jasad juga dibangkitkan dan mendapat siksaan di akhirat bagi orang kafir, di antaranya,
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا بِآَيَاتِنَا سَوْفَ نُصْلِيهِمْ نَارًا كُلَّمَا نَضِجَتْ جُلُودُهُمْ
بَدَّلْنَاهُمْ جُلُودًا غَيْرَهَا لِيَذُوقُوا الْعَذَابَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَزِيزًا حَكِيمًا
(النساء, ٥٦)
Sesungguhnya orang-orang
yang kafir kepada ayat-ayat Kami,
kelak akan Kami masukkan mereka ke dalam
neraka. Setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti kulit
mereka dengan kulit yang lain, supaya mereka
merasakan azab. Sesungguhnya Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana.
(Q. 4:56)
Disamping itu, ayat ini juga menunjukkan bahwa sejak 15 abad silam, Allah telah menyatakan bahwa kulit adalah alat perasa yang merasakan dingin dan panas, termasuk siksaan dalam neraka.
Pada halaman berbeda, Abu Sangkan menterjemahkan kembali ayat tersebut di atas , sebagai berikut:
Kuhadapkan muka dan jiwaku kepada
Zat yang menciptakan langit dan bumi dengan
keadaan tunduk dan menyerahkan diri dan aku
bukanlah dari golongan kaum musyrikin.
(Q. 6:79)
Di sini kata wajhī (lit. “mukaku”) diterjemahkan dengan “muka dan jiwaku”. Terjemahan Departement Agama dengan “diriku” lebih tepat, karena dalam bahasa Arab kata wajh (wajah, muka) kadangkala dimaksudkan keseluruhan badan, bukan muka saja. Kawan sekamar saya dulu bernama Abduh dari Yaman, yang bekerja sebagai penjual obat di Apotik Al-Kalali (milik Ahmad al-Kalali asal Indonesia-Yaman) di Khamis Musyait, Arab Saudi, pernah mengatakan bahwa si Anu itu (seorang dokter asal Pakistan), karena sudah banyak ditolong dan sudah kaya, seharusnya memberikan ra’s ghanam (lit. sekepala kambing) yang dalam bahasa Indonesia seekor kambing. Maksudnya adalah satu kambing utuh, bukan kepalanya atau ekornya saja. Maka dari itu, penggunaan kata wajh untuk Allah tidak diterjemahkan. Ibn al-Jawzī menyebutkan bahwa didalam al-Qur’ān ada 6 arti dari kata wajh (wajah), sebagai berikut:
1. Al-Wajh, muka, wajah, seperti dalam al-Qur’ān,
يَوْمَ تَبْيَضُّ وُجُوهٌ وَتَسْوَدُّ وُجُوهٌ فَأَمَّا الَّذِينَ اسْوَدَّتْ وُجُوهُهُمْ
أَكَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ فَذُوقُوا الْعَذَابَ بِمَا كُنْتُمْ تَكْفُرُونَ
(آل عمران, ١٠٦)
… pada hari yang di waktu itu ada muka yang putih
berseri, dan ada pula muka yang hitam suram. Adapun
orang-orang yang hitam mukanya (kepada mereka dikatakan):
“Kenapa kamu kafir sesudah kamu beriman? Karena
itu rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu.”
(Q. 3:106)
2. Al-Dīn, agama, seperti dalam al-Qur’ān,
وَمَنْ أَحْسَنُ دِينًا مِمَّنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ
وَاتَّبَعَ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَاتَّخَذَ اللَّهُ إِبْرَاهِيمَ خَلِيلًا
(النساء , ١٢٥)
Dan siapakah yang lebih
baik agamanya daripada orang yang
ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah,
sedang dia pun mengerjakan kebaikan, dan
ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus?
Dan Allah mengambil Ibrahim
menjadi kesayanganNya.
(Q. 4:125)
Di sini Ibn al-Jawzī mengatakan أَسْلَمَ وَجْهَهُ أَيْ أَخْلَصَ دِيْنَهُ (lit. “menyerah-kan wajahnya” artinya “ikhlas dalam menjalankan agamanya”).
3. ِِِAl-Awwal, permulaan, awal, seperti dalam al-Qur’ān,
وَقَالَتْ طَائِفَةٌ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ آَمِنُوا بِالَّذِي أُنْزِلَ عَلَى
الَّذِينَ آَمَنُوا وَجْهَ النَّهَارِ وَاكْفُرُوا آَخِرَهُ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
(أل عمران , ٧٢)
Segolongan (lain) dari ahli
kitab berkata (kepada sesamanya),
“Perlihatkanlah (seolah-olah) kamu
beriman kepada apa yang diturunkan
kepada orang-orang yang beriman (sahabat-
sahabat rasul) pada permulaan siang dan
ingkarilah ia pada akhirnya, supaya
mereka (orang-orang mukmin)
kembali kepada kekafiran).”
(Q. 3:72)
4. Al-H.aqīqah, hakikat, yang sebenarnya, seperti dalam al-Qur’ān,
ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يَأْتُوا بِالشَّهَادَةِ عَلَى وَجْهِهَا أَوْ يَخَافُوا أَنْ تُرَدَّ أَيْمَانٌ
بَعْدَ أَيْمَانِهِمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاسْمَعُوا وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ.
(المائدة , ١٠٨)
Itu lebih dekat untuk (menjadikan para
saksi) mengemukakan persaksiannya menurut
apa yang sebenarnya, dan (lebih dekat untuk menjadikan
mereka) merasa takut akan dikembalikan sumpahnya
(kepada ahli waris) sesudah mereka bersumpah.
Dan bertakwalah kepada Allah dan dengarkanlah
(perintah-Nya). Allah tidak memberi
petunjuk kepada orang-orang fasik.
(Q. 5:108)
5. Al-‘Ilm, ilmu, pengetahuan, menurut pendapat Muh.ammad b. Qāsim al-Nah.wī, seperti dalam al-Qur’ān,
وَلِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
(البقرة, ١١٥)
Dan kepunyaan Allah-lah timur dan
barat, maka kemana pun kamu menghadap disitulah
wajah (kiblat) Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas
(rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui.
(Q. 2:115)
Menurut Muh.ammad bin Qāsim al-Nah.wī, ayat di atas berarti, kemana pun kita menghadap dalam shalat (bagi orang yang menghadap arah Kiblat secara keliru), Allah mengetahuinya. Menurut al-abar, ayat ini turun setelah sesuatu kaum shalat pada arah kiblat yang tidak tepat karena mereka tidak tahu. Al-Is.fahānī memberikan penafsiran wajhullāh pada ayat tersebut di atas dengan اَلتَّوَجُّهُ إِلَى اللهِ تَعَالَى بِاْلأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ “menghadap Allah Yang Maha Tinggi dengan amal-amal saleh.”
6. Al-Dhāt, zat Allah, sehingga kata wajh tidak diterjemahkan, seperti:
إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنْكُمْ جَزَاءً وَلَا شُكُورًا
(الإنسان, ٩)
Sesungguhnya kami memberi
makanan kepadamu hanyalah untuk
mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak
menghendaki balasan dari kamu dan
tidak pula (ucapan) terima kasih.
(Q. 76:9)
Di sini Ibn al-Jawzī mengatakan bahwa وَجْهُ اللهِ أَيْ اللهُ “wajah Allah” artinya “Allah”. Sampai sekarang orang Arab masih menggunakan ucapan liwajhillāh untuk menunjukkan keikhlasan dan kesungguhannya dalam melakukan sesuatu, mengundang, memberi dan seterusnya.
6. Keterangan tentang Ayat
45-46 Surah al-Baqarah
Pada halaman 23 dari buku Pelatihan Shalat Klhusyu' dan halaman berikutnya, untuk menekankan pertemuan Allah dengan orang yang tengah melakukan shalat, Abu Sangkan menggunakan ayat sebagai berikut:
وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى الْخَاشِعِينَ.
الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُمْ مُلَاقُو رَبِّهِمْ وَأَنَّهُمْ إِلَيْهِ رَاجِعُونَ
(البقرة, ٤٥-٤٦)
Dan mintalah pertolongan
(kepada Allah) dengan sabar dan
shalat. Dan sesungguhnya yang demikian
itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang
yang khusyuk', (yaitu) orang-orang yang
meyakini bawa mereka akan menemui
Tuhannya dan bahwa mereka
akan kembali kepada-Nya.
(Q. 2:45-46)
(Dalam ayat ini al-T.abarī menafsirkan al-khāshi‘īn sebagai اَلْمُتَوَاضِعِيْنَ ِللهِ (“orang-orang yang merendahkan diri kepada Allah”).
Pada halaman sebelumnya, yaitu halaman 22 Abu Sangkan menterjemahkan ayat di atas sebagai berikut:
Jadikanlah sabar dan shalat sebagai
penolongmu, dan sesungguhnya yang demikian
itu sungguh amat berat, kecuali bagi orang-orang
yang khusyu’ (yaitu) orang–orang yang meyakini,
bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan
bahwa mereka kembali kepadaNya.
(Q. 2:46)
Di sini, kelihatan lagi perbedaan antara kedua terjemahan di atas. Pada terjemahan Departemen Agama, kita disuruh Allah minta tolong (kepada-Nya) dengan bersabar dan menjalankan shalat, (dalam terjemahan bahasa Inggris, “seek help in patience and prayer”) dan inilah yang lebih dekat dengan lafal ayat. Sementara pada terjemahan Abu Sangkan, kita disuruh menjadikan sabar dan shalat sebagai penolong kita. Itu adalah penafsiran dan bukan terjemahan ayat. Yang menjadi masalah, penggunaan kata kerja ista‘āna yang berarti “meminta pertolongan”, sama penggunaannya dengan kata kerja ista‘ādha yang artinya “meminta perlindungan”. Kepada siapa? Dipakailah kata bantu bi (مُتَعَدِّيْ بِاْلبَاءِ) dan kalau kepada Tuhan, menjadi billāh. Kalau dikatakan “mintalah pertolongan kepada Allah” bahasa Arabnya ista‘in billāh; bentuk jamaknya adalah ista‘āinū billāh. Ini dapat diketemukan pada al-Qur’ān sebagai berikut:
قَالَ مُوسَى لِقَوْمِهِ اسْتَعِينُوا بِاللَّهِ وَاصْبِرُوا إِنَّ الْأَرْضَ
لِلَّهِ يُورِثُهَا مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ.
(الأعراف, ١٢٨)
Musa berkata kepada kaumnya,
“Mohonlah pertolongan kepada Allah
dan bersabarlah; sesunguhnya bumi (ini)
kepunyaan Allah; dipusakakan-Nya kepada
siapa yang dikehendaki-Nya dari hamba-
hamba-Nya. Dan kesudahan yang baik
adalah bagi orang-orang
yang bertakwa”
(Q. 7:128)
Kalau dikatakan “mintalah perlindungan kepada Allah (dari setan)” bahasa Arabnya ista‘idh billāh, dan ini terdapat pada al-Qur’ān sebagai berikut:
1. فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآَنَ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ (النحل,٩٨) “Apabila kamu membaca Al-Qur’an hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk” (Q. 16:98).
2. وَإِمَّا يَنْزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطَانِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ إِنَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ (الأعراف,٢٠٠) “Dan jika kamu ditimpa suatu godaan setan, maka berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui (Q. 7:200); (lihat juga Q. 41:36). Lalu bagaimanakah menterjemah-kan وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ, tidak mungkin diterjemahkan dengan “mintalah pertolongan kepada kesabaran dan shalat”, mekipun ada kata bi sebelum kata s.abr dan s.alāt. Posisi bi di sini bukan berarti kepada melainkan dengan (sebagai alat) yang berarti melalui, yang oleh al-Zamakhsharī dinamakan بَاءُ اْلإِسْتِعَانَةِ seperti dalam ucapan كَتَبْتُ بِاْلقَلَمِ (“saya menulis dengan pena”). Adapun tempat meminta pertolongan adalah Allah, sekalipun nama-Nya tidak disebutkan dalam ayat itu. Penterjemah dari Departement Agama menambahkan dalam kurung “kepada Allah” seberti tersebut di atas. Dengan kata lain, mintalah pertolongan kepada Allah dengan melakukan kesabaran dan mendirikan shalat.
Ibn Kathīr (Katsir) dalam menafsirkan ayat tadi (Q. 2:46) mengatakan bahwa Allah menyuruh hamba-Nya menggunakan sabar dan shalat untuk memperoleh kebaikan dunia-akhirat. Ia mengutip Muqātil bin H.ayyān yang mengatakan, “Amalkan kesabaran dan shalat wajib untuk akhirat. Adapun kesabaran di sini, menurut mereka [ahli tafsir] adalah puasa.” Dikatakanoleh Ibn Kathir bahwa Mujahid (w. 103 H/722 M) juga berpendapat demikian. Al-Qurubī (w. 671 H/1273 M) dan ulama yang lain mengatakan, itulah sebabnya bulan Ramadan dikatakan “bulan kesabaran” sebagaimana termaktub dalam literatur hadits. Pendapat yang lain mengatakan bahwa sabar pada ayat tersebut berarti “menghindari kejahatan”. Itulah sebabnya “sabar” disebutkan bersama dengan amal-amal ibadah yang lain, terutama “shalat.” Ibn Abī H.ātim juga menyampaikan bahwa ‘Umar bin Khattāb r.a. pernah berkata, “Ada dua macam kesabaran: kesabaran yang baik adalah waktu mendapat mala-petaka, dan kesabaran yang lebih baik adalah menghindari larangan-larangan Allah.” Dikatakan pula oleh Ibn Kathr bahwa al-H.asan al-Bas.rī (w. 110 H/728 M) pernah juga berkata seperti itu.
Perbedaan yang lain antara hasil terjemahan yang dibuat oleh Departemen Agama dan Abu Sangkan terhadap Qur’an 2 (surah al-Baqarah) ayat 45-46 adalah dalam lafal mulāqū rabbihim. Kendati keduanya sama-sama dengan menggunakan kata akan, yaitu “mereka akan menemui Tuhan-nya”, tetapi ada perbedaan pada kata ilayhi rāji‘ūn, Departemen Agama menterjemahkan dengan “mereka akan kembali kepada-Nya”, sedang terjemahan Abu Sangkan “mereka kembali kepada-Nya,” tanpa menggunakan kata akan. Barangkali, dengan begitu, Abu Sangkan memaksudkan pengertiannya yang lebih luas, yakni kita semua sedang dalam perjalanan menuju akhirat, karena dunia hanya sekedar tempat singgah untuk beramal baik sebanyak-banyaknya, sebagai bekal hidup untuk di akhirat kelak. Untuk menguatkan pendapatnya, ayat ini dia gunakan sebagai dalil bahwa “orang yang khusyu’ adalah orang yang mempunyai kesadaran ruhani (dzann) bahwa dirinya sedang bertemu dengan Tuhannya.” Kata dzann yang artinya “keyakinan” dalam ayat ini, diartikannya “kesadaran ruhani”, lalu ayat di atas ditafsirkan “yang (sedang) meyakini bertemu dengan Tuhannya dan kepada-Nya mereka kembali”. Di sini kata “akan” pada kata kerja “bertemu” dan “kembali” tidak ada, karena yang dimaksudkannya adalah sedang dan bukan akan bertemu dengan Tuhannya diwaktu shalat. Betul, waktu shalat kita menghadap Tuhan, tetapi bukan dengan menggunakan ayat di atas sebagai dalil, karena ayat tersebut menunjukkan masa depan di akhirat, tempat manusia akan kembali. Untuk menegaskan pendapatnya dan menyalahkan penafsiran para ulama terdahulu, yang mengatakan bahwa ayat mulāqū rabbihim (bertemu dengan Tuhannya) adalah di Hari Kiamat, dikatakan-nya:
Maka bagi orang yang
mengartikan bahwa kembali atau
bertemu dengan Allah yang dimaksud adalah
nanti di akhirat saja, sangatlah tidak masuk akal,
karena jika pendapatnya demikian akan muncul
pertanyaan: Jadi selama ini ketika kita shalat
menghadap kepada siapa? Di manakah
Allah saat kita menyembah-Nya?
Pertanyaan ini akan menimbulkan pertanyaan lain, “Di manakah Allah saat kita tidak menyembah-Nya? Pertanyaan selanjutnya, “Di manakah Allah?” Pertanyaan tersebut sudah salah, karena kita semua tahu Allah tidak terikat ruang dan waktu. Allah melihat dan mengetahui segala gerak-gerik kita. Dan salah jika kita menjawabnya dengan mengatakan “Allah ada di mana-mana”, karena ini adalah pendapat orang yang beraliran pantheisme yang mengatakan bahwa Tuhan dan alam raya adalah satu (identical), dan segala benda yang berwujud terbatas adalah bagian dari rupa Tuhan.
“... for the pantheist,
God and the world are identical,
and all finite existents are parts, ‘modes’
of appearances of God.”
“Menurut penganut
Pantheisme Tuhan dan dunia
adalah identik, dan semua yang
wujudnya terbatas adalah bagian,
‘mode’ dari penampakan
diri Tuhan.”
Yang penting bagi kita adalah meyakini Allah selalu mengetahui gerak-gerik kita, baik waktu kita sedang mengabdi dan menghadap kepada-Nya dalam shalat, ataupun di kala kita sedang mendurhakai-Nya. Kalaupun kita tidak bertemu Allah dalam shalat, kita melaksanakan shalat sebaik mungkin seperti yang dicontohkan oleh Nabi s.a.w.. Pesan beliau adalah menyembah Allah sebaik dan sesempurna mungkin, seakan-akan kita melihat-Nya, dan inilah tingkat yang paling tinggi. Kalaupun kita belum sanggup mencapai tingkatan ini, kita cukup menyakini bahwa Ia melihat kita, dan karena itu kita lakukan ibadah kita sebaik mungkin.
Adapun pernyataan Tuhan bahwa Ia dekat dan mengabulkan permintaan orang-orang yang meminta kepada-Nya, sebagaimana terdapat pada surah al-Baqarah ayat 186, adalah kata kiasan dengan menggunakan bahasa yang dapat dipahami oleh manusia. Karena itu kata “dekat” dimaksudkan “dekat dengan sepengetahuan-Nya.” Demikian pula yang dinyatakan dalam surah al-Baqarah ayat 115, bahwa kemana pun kita menghadap di sanalah (wajah) Allah (lihat arti wajh Allah pada ayat tersebut), bukan berarti Allah ada di mana-mana yang berarti juga Ia terikat oleh ruang. Maka dari, itu ayat itu ditasfirkan dengan pemahaman yang agak berbeda: Menghadap Tuhan dalam shalat dengan menghadap Kiblat, apabila arah Kiblat tidak diketahui benar sehingga arahnya keliru, shalatnya masih sah, karena Tuhan tahu niat kita. Adapun pengertian bahwa “Allah istawa pada arasy-Nya”, itu adalah rahasia Ilahi, baik kata istawa, maupun kata arasy (singgasana) Tuhan, (7:54; 10:3; 12:100; 13:2; 20:5; 25:59; 32:4; 57:4) dan bahwa singgasana-Nya berada di atas air (Q. 11:7), juga merupakan hal di luar jangkauan akal manusia yang sangat terbatas.
7. Arti Kata abr dalam al-Qur’ān
Menurut al-Rāghib al-As.fahānī, kata s.abr pada dasarnya berarti الإمْسَاكُ فِي ضِيْق “menahan dalam kesempitan,” seperti pada ungkapan صََبَرْتُ الدَّابَة (lit. “saya menyabarkan binatang itu”) yang berarti “saya menahan binatang itu tanpa (memberi) makanan,” dan صَبَرْتُ فُلاناً (lit. “saya menya-barkan si Anu”) yang berarti “saya membuntutinya sampai ia tidak dapat mengelak.” S.abr adalah “menahan diri dari apa yang diperlukan menurut pikiran atau hukum atau keduanya”. Kata ini umum, namanya dapat berbeda-beda sesuai dengan keadaannya. Apabila menahan diri dari suatu musibah, hanya disebut s.abr, lawannya adalah الجَزَع “kegelisahan”, “ketidak sabaran”, “kesedihan”, “ketidak tenangan,” “kekuatiran.” Apabila dalam keadaan berperang kata ini berarti الشَجَاعَة “keberanian,” lawan dari الجُبْن “kekecutan (hati).” Apabila dalam menghadapi malapetaka yang sangat menyedihkan, maka disebut رَحْبُ الصَّدْر “berlapang dada”, lawan dari الضَّجَر “kemarahan,” “ketidak-puasan,” “ketidak-senangan,” “kesedihan,” dan “ketergangguan.” Apabila dalam menahan diri dari berbicara disebut كِتْمَان “diam”, “kerahasiaan", lawan dari kata مَذْل “keterbukaan.”
Ibn al-Jawzī memberi definisi s.abr yang agak berbeda dengan definisi diberikan oleh al-Rāghib al-As.fahānī di atas , yaitu حَبْسُ النَّفْسِ عمّا تُنَازِعُ إلَيْه ُ “menahan diri dari apa yang diinginkan”. Setiap sesuatu yang menahan sesuatu yang lain disebutkan telah “menyabarkannya,” dan sesuatu yang terlarang yang dikatakan المَصْبُوْرَة, adalah binatang yang dijadikan sasaran lemparan tombak sampai mati. Dikatakan juga bahwa orang yang bersabar atas musibah adalah orang yang sabar, karena ia menahan dirinya dari perasaan sedih, khawatir, dan menyesal. Ibn al-Jawzī menyebutkan tiga arti dari s.abr (sabar) dalam al-Qur’ān, sebagai berikut:
1. Sabar itu sendiri (الصَبْرُ نَفْسُه) , dan inilah arti yang paling umum dalam al-Qur’ān, misalnya, الصَّابِرِينَ وَالصَّادِقِينَ وَالْقَانِتِينَ وَالْمُنْفِقِينَ وَالْمُسْتَغْفِرِينَ بِالْأَسْحَارِ (آل عمران, ۱۷) “[…orang-orang bertaqwa] (yaitu) orang-orang yang bersabar, yang benar, yang tetap ta’at, yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah),dan yang memohon ampun diwaktu sahur.” (Q. 3:17). (Lihat juga Q. 14:21 dan Q. 38: 44).
2. Puasa(الصََّوْم) , seperti ayat وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ (البقرة , ٤٥) Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar (berpuasa) dan shalat. (Q. 2:45)
3. Kenekatan, keberanian, (الجُرْأَة) , seperti contoh yang diberikan oleh al-Farrā’, yaitu: أُولَئِكَ الَّذِينَ اشْتَرَوُا الضَّلَالَةَ بِالْهُدَى وَالْعَذَابَ بِالْمَغْفِرَةِ فَمَا أَصْبَرَهُمْ عَلَى النَّارِ (البقرة, ١٧٥) “Mereka itulah orang-orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk dan siksa dengan ampunan. Maka alangkah beraninya mereka menentang api neraka!” (Q. 2:175)
Al-As.ma‘ī menceriterakan bahwa seseorang bersumpah (dengan nama Allah) tetapi berbohong kepada seorang Badwi, maka berkatalah orang Badwi itu kepadanya, مَا أَصْبَرَكَ عَلَى اللهِ yang maksudnya مَا أَجْرَأَكَ عَلَى اللهِ “Alangkah nekatnya engkau terhadap Allah!”
Beberapa penafsiran tentang maksud “meminta pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat” dalam ayat وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ (البقرة , ٤٥) di atas, antara lain:
a. Sabar dalam melakukan kewajiban agama dan memperbanyak shalat untuk membersihkan diri dari dosa-dosa.
b. Sabar dalam membela Nabi Muhammad s.a.w.
c. Sabar dalam berpuasa dan mendirikan shalat; puasa dinamakan “kesabaran”, karena dalam berpuasa orang menahan diri dari makan, minum dan kecabulan. (Pendapat Mujāhid).
d. Sabar dalam apa saja yang dialami, sekalipun mendapat hal-hal yang tidak disenangi (pengalaman pahit). (Pendapat Abū Ish.āq al-Zajjāj, w. 310 H/922 M)
e. Ada tiga macam macam kesabaran:Pertama: sabar dalam menghadapi musibah. Kedua, sabar dalam ketaatan (kepada Allah), dan ini lebih berat dari yang pertama, pahalanya lebih banyak, dan inilah yang dimaksud dalam ayat tersebut. Dan ketiga, sabar dalam menghindari maksiat, dan ini lebih berat dari yang pertama dan kedua.
f. Sabar adalah ketaatan secara batin, sedang shalat adalah ketaatan secara lahir. Allah menyebutkan dalam ayat ini kesabaran secara batin dan kesabaran secara lahir, yaitu shalat. Tidak ada ketaatan yang paling berat buat badan melebihi shalat, karena didalamnya tergabung bermacam-macam ketaatan: kerendahan hati, pemusatan perhatian, ketenangan, bertasbih dan membaca; apabila ini dapat dilakukan dengan mudah, maka amal ibadah yang lain akan lebih mudah. Dan tidak ada kepatuhan batin yang lebih berat terhadap badan melebihi kesabaran. Karena itu, Allah memerintahkan untuk bersabar dan mendirikan shalat.
Adapun arti ayat(البقرة , ٤٥) وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى الْخَاشِعِينَ “Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu'.” (Q. 2:45), adalah bahwa (a) meminta pertolongan (kepada Allah) adalah berat; (b) melakukan shalat adalah berat, kecuali bagi orang yang khusyu’, merendahkan diri.
Ayat ini diturunkan untuk menyabarkan orang-orang Islam atas serangan dan ejekan orang-orang musyrik Makkah manakala mereka shalat menghadap Ka’bah setelah mereka memindahkan arah kiblat dari Jerusalem ke Ka’bah di Masjidil Haram. Orang-orang musyrik Mekkah mengatakan: “Muhammad akan kembali kepada agama kita sebagaimana ia kembali ke kiblat kita.” Karena itu, pengikut beliau disuruh meminta perlindungan-Nya dengn bersabar dan mendirikan shalat. “Posisi sabar pada iman,” kata ‘Ali bin Abi Talib r.a., “adalah seperti posisi kepala pada badan, tidak ada faedah badan tanpa kepala.”
8. Penggunaan Ism al-Fā‘il
(Active Participle, Nomen Agentis)
dan Ism al-Maf‘ūl (Passive Participle,
Nomen Patientis) dalam al-Qur’ān.
Dalil yang lain yang digunakan Abu Sangkan untuk menekankan bahwa kita bisa bertemu dengan Allah dalam shalat yaitu firman Allah dalam Surah Al Insyiqāq ayat 6,” yaitu,
يَا أَيُّهَا الْإِنْسَانُ إِنَّكَ كَادِحٌ إِلَى رَبِّكَ كَدْحًا فَمُلَاقِيهِ
(الإنشقاق, ٦)
Hai manusia, sesungguhnya kamu telah
bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhan-mu,
maka pasti kamu akan menemui-Nya.
(Q. 84:6)
Abu Sangkan menterjemahkan ayat ini sama dengan terjemahan Departemen Agama, di mana kata famulāqīh diterjemahkan dengan “maka pasti kamu akan menemui-Nya” yang menunjukkan masa yang akan datang. Namun, dalam penjelasan di bukunya tersebut, Pelatihan Shalat Khusyu', halaman 26, Abu Sangkan mengarahkan pemahamannya terhadap ayat tersebut pada masa sekarang (yang sedang berlaku) yaitu kemungkinan menemui Tuhan saat shalat, karena seseorang yang telah bekerja dengan sungguh-sungguh termasuk dalam shalatnya menuju Tuhan, maka waktu shalat Tuhan menemuinya. Lantas, jika penafsiran ayat tersebut demikian, bagaimana dengan orang yang berdoa sungguh-sungguh, berpuasa sungguh-sungguh, naik haji dengan sungguh-sungguh, Tuhan juga akan menemuinya? Kalau begitu, apakah pengertiannya menjadi umum bahwa setiap amal (bukan shalat saja) yang dilakukan dengan sungguh-sungguh Tuhan akan menemui pelakunya waktu ia sedang melakukannya (seperti halnya waktu shalat)? Marilah kita simak keterangan ahli tafsir.
Yang saya temui adalah bahwa ayat di atas adalah salah satu dari banyaknya ayat-ayat yang menggunakan kata mulāqī (“menemui”) Tuhan, yang akan terjadi pada masa yang akan datang, pada Hari Kiamat. Al-Rāghib al-As.fahānī (w. 502/1109) dalam bukunya Mufradāt Alfāz. al-Qur‘ān mengatakan sebb.:
وَ مُلَاقَاةُ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ عِبَارَةٌ عَنِ اْلقِيَامَةِ وَعَنِ اْلَمَصِيْرِ إِلَيْهِ.
Dan (ungkapan) menemui Allah Yang Maha Kuasa
dan Maha Mulia adalah expressi tentang Hari Kiamat dan
tentang kembalinya (semua makhluq) kepada-Nya.
Inilah ungkapan al-Qur’an, bahwa “menemui Allah” maksudnya “akan menemui Hari Kiamat saat semua makhluq kembali kepada Nya”. Al-Asfahānī memberi banyak contoh dalam al-Qur‘ān, termasuk ayat yang tersebut di atas, antara lain sebagai berikut:
1. وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ مُلَاقُوهُ (البقرة:٢٢٣) “Dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya.” (Q. 2:223)
2. قَالَ الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُمْ مُلَاقُو اللَّهِ كَمْ مِنْ فِئَةٍ قَلِيلَةٍ غَلَبَتْ فِئَةً كَثِيرَةً بِإِذْنِ اللَّهِ وَاللَّهُ مَعَ الصَّابِرِينَ (البقرة,٢٤٩) …“Orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Allah berkata: ‘Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yng banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Q. 2:249)
Penggunaan إِسْمُ اْلفَاعِل , active participle (nomen agentis), seperti kata ظَالِمْ (penzalim, sedang menzalimi), demikian juga إِسْمُ اْلمَفْعُوْل (passive participle, nomen patientis), seperti kata مَظْلُوْم (terzalim, sedang dizalimi), dapat menunjukkan sifat pelaku, yaitu penzalim dan yang diperlakukan, yaitu terzalim dalam contoh di atas , tetapi juga dapat berarti perbuatan itu sedang berlaku, yaitu perbuatan orang yang sedang menzalimi atau perbuatan yang menimpa orang yang sedang dizalimi dalam contoh di atas . Disamping itu penggunaan ismu ’l-fā‘il dan ismu ’l-maf‘ūl dapat juga menunjukkan kejadian yang akan datang yang ditekankan, dipastikan, dan yang sudah direncanakan semula, bukan berlaku masa sekarang. Contohnya dalam al-Qur’ān banyak sekali, antara lain:
1. الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ (البقرة, ١٥٦) “(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah mereka mengucapkan ‘innā lillāhi wa innā ilayhi rāji‘ūn’ (‘sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nya-lah kami kembali’)” (Q. 2:156).
2. وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آَتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ (المؤمنون, ٦٠) “dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka.” (Q. 23:60).
Di sini nampak bahwa tidak ada penterjemah menerjemahkan rāji‘ūn dengan “sedang kembali”, melainkan “akan kembali”. Kalaupun ada yang menterjemahkannya ke dalam bahasa Inggris dengan “are returning” dan bukan “shall return”, itupun tidak salah, karena tidak menunjukkan masa sekarang, melainkan masa yang akan datang yang diyakini, ditetapkan dan dipastikan datangnya. Seperti dalam bahasa Arab, penggunaan present continuous tense, selain menunjukkn peristiwa yang sedang berlaku, dapat juga menunjukkan peristiwa yang sudah diniatkan dan diyakini akan berlaku. Orang-orang Palestina yang bertekad bulat untuk kembali ke kampung halaman mereka yang mereka terpaksa tinggalkan mengekspresikan keinginan mereka untuk kembali pada suatu ketika dengan mengatakan Nah.nu rāji‘ūn dan Nah.nu ‘ā’idūn yang berarti “Kami akan (dengan bertekad bulat untuk) kembali” Untuk contoh dalam bahasa Inggris, dapat diperhatikan percakapan seperti di bawah ini:
A. “I am leaving” (Saya sedang/berniat untuk pergi)
B. “Now?” (Sekarang?)
A. “No, next week” (Bukan, minggu depan).
Si A sudah berniat untuk dan akan pergi minggu depan, tiket pesawat (bis, k.a.) sudah dibeli, utang piutang sudah diselesaikan, sebentar lagi akan diperpisahkan, dll.
Demikian juga kata مُلَاقِىْ (mulāqī) yang إِسْمُ اْلفَاعِل (active participle, nomen agentis) dari kataيُلَاقِىْ (“menemui”) didalam al-Qur’ān menunjuk-kan pertemuan yang pasti akan terjadi di masa yang akan datang, misalnya.
قُلْ إِنَّ الْمَوْتَ الَّذِي تَفِرُّونَ مِنْهُ فَإِنَّهُ مُلَاقِيكُمْ ثُمَّ تُرَدُّونَ
إِلَى عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
(الجمعة ,٨)
Katakanlah, “Sesungguhnya kematian
yang kamu lari darinya, maka sesungguhnya
kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu
akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui
yang ghaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan
kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.”
(Q. 62:8)
Say (to them): “Verily, the death
fom which you flee, will surely meet you,
then you will be sent back to (Allah), the All-
Knower of the unseen and the seen, and
He will tell you what you used to do.
(Q. 62:8)
Adapun contoh إِسْمُ اْلَمْفعُوْل (passive participle, nomen patientis), yang artinya berlaku untuk masa yang akan datang yang sudah dipastikan juga banyak sekali terdapat dalam al-Qur’ān, antara lain:
1. وَاصْنَعِ الْفُلْكَ بِأَعْيُنِنَا وَوَحْيِنَا وَلَا تُخَاطِبْنِي فِي الَّذِينَ ظَلَمُوا إِنَّهُمْ مُغْرَقُونَ (هود,٣٧) “Dan buatlah bahtera itu dengan pengawasan dan petunjuk wahyu Kami, dan janganlah kamu bicarakan dengan Aku tentang orang-orang yang zalim itu; seasungguhnuya mereka itu akan ditenggelamkan.” (Q. 11:37) Ini adalah perintah Allah kepada Nabi Nuh untuk membuat bahtera sebelum banjir datang manakala kaumnya yang tidak percaya kepadanya akan tengelam. Perintah untuk membuat bahtera dan larangan untuk membicarakan tentang orang-orang zalim itu serta janji untuk menenggelamkan mereka terulang lagi pada surah al-Mu’minūm (23) ayat 27. Kata مُغْرَقُونَ (“akan ditenggelamkan”) digunakan juga pada surah al-Dukhkhān (44) ayat 24 sebagai janji Allah kepada Nabi Musa bersama kaumnya untuk menenggelamkan tentara Fir‘aun yang mengejar mereka.
2. ٤-٦) أَلَا يَظُنُّ أُولَئِكَ أَنَّهُمْ مَبْعُوثُونَ, لِيَوْمٍ عَظِيمٍ, يَوْمَ يَقُومُ النَّاسُ لِرَبِّ الْعَالَمِينَ. (التطفيف , "Tidakkah orang-orang itu yakin bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan pada suatu hari yang besar (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam?" (Q. 83:4-6)
3. قَالُوا أَئِذَا مِتْنَا وَكُنَّا تُرَابًا وَعِظَامًا أَئِنَّا لَمَبْعُوثُونَ (المؤمنون,٨٢) “Mereka berkata, ‘Apakah betul, apabila kami telah mati dan telah menjadi tanah dan tulang belulang, apakah sesungguhnya kami benar-benar akan dibangkitkan?’” (Q. 23:82). Ayat yang bunyinya hampir sama adalah Surah Banī Isrā’īl (17) ayat 49, Surah al-S.āffāt (37) ayat 16, dan Surah al-Wāqi‘ah (56), ayat 47.
Kesimpulan:
Kata “menghadap Allah” dalam shalat tidak sama dengan “menemui” Allah dalam shalat. Menghadap Allah tidak harus berada dihadapan-Nya, sedang istilah “menemui Allah” digunakan dalam al-Qur’an hanyalah expressi untuk “menemui Hari Kiamat, tempat kembali”. Nabi kita Muhammd s.a.w. mengajarkan kita menyembah Allah seakan-akan kita melihat-Nya, sekurang-kurangnya meyakini bahwa Ia sedang melihat kita saat kita menyembah-Nya.
9. Sebab Turunnya Ayat 183
dari Surah al-Baqarah
Pada halaman 33 dari buku Pelatihan Shalat Khusyu' ini terdapat judul “Mengapa shalat khusyu sulit didapatkan?” Kemudian dikutip ayat al-Qur’an, ”Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu” (Q. 2:185). Jika keduanya dihubungkan, seakan-akan berarti bahwa melakukan shalat khusyu’ itu sukar, sedang Allah tidak menghendaki kesukaran bagi kita, melainkan kemudahan, maka tidak perlu ada khusyu’ yang sukar itu ketika melakukan shalat. Ini bukanlah yang dimaksud oleh Abu Sangkan, penulis buku tersebut. Mungkin maksudnya, dengan mengikuti apa yang terdapat dalam buku Pelatihan itu, apa yang dianggap “sulit” sebenarnya “tidak sulit”, atau menjadi “tidak sulit”, karena Allah tidak menghendaki kesukaran bagi kita, seperti yang dikatakan oleh Abu Sangkan dalam bukunya tersebut, “Khusyu’ bukanlah sesuatu yang rumit tetapi bukan juga sesuatu yang gampang.”
Ayat 185 di atas sebenarnya diturunkan untuk memberikan keringanan dalam melakukan puasa. Dikatakan oleh para ahli tafsir, ayat itu diturunkan untuk meringankan bagi mereka yang lemah, sakit dan dalam perjalanan, diizinkan tidak berpuasa dan meng-qada’ puasa guna melengkapi jumah puasa mereka sebulan atau membayar fidyah. Keringanan tersebut ditambah dengan dibolehkannya untuk makan dan minum serta hubungan suami-isteri sampai fajar. Pada awalnya, menurut Mu‘ādh bin Jabal, sebelum diganti dengan bulan Ramadan, puasa diwajibkan selama tiga hari sebulan dan pada hari ‘Āshūrā’ (10 Muharram), dan tidak ada makan sahur. Orang yang tidur diwaktu malam pada jam berapa pun, apabila ia bangun ia sudah mulai berpuasa. Seorang sahabat yang sedang berpuasa bernama Qays bin S.armah setelah pulang dari kerjanya di kebun kurmanya, tertidur sebelum berbuka karena isterinya belum selesai menyiapkan makanannya untuk berbuka, terpaksa berpuasa terus hingga hari berikutnya. Ia sangat capek sampai ia tidak sadarkan diri saat tengah hari. Lain lagi dengan ‘Umar ibn al-Khattab. Ia menggauli isterinya, padahal isterinya mengatakan bahwa ia sudah pernah tidur, yang berarti ia sudah harus mulai berpuasa. Untuk memudahkan puasa yang berat ini, Allah memberi keringanan dengan membolehkan ummat Islam kala itu untuk makan-minum dan mendatangi isteri sampai dekat fajar.
Arti ayat di atas kemudian menjadi lebih umum dengan pernyataan Nabi s.a.w. sebagai berikut:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ قَالَ
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ
قَالَ حَدَّثَنِي أَبُو التَّيَّاحِ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَسِّرُوا وَلَا
تُعَسِّرُوا وَبَشِّرُوا وَلَا تُنَفِّرُوا
(صَحِيحُ الْبُخَارِي, ج۱, ص۱۲۲)
... dari Anas bin Malik Nabi s.a.w.
bersabda: “Permudahlah, dan
jangan mempersusah, berilah kabar
gembira dan jangan membuat
orang berpaling.”
(HR Bukhari)
حَدَّثَنَا آدَمُ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ أَبِي التَّيَّاحِ قَالَ
سَمِعْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسِّرُوا وَلَا تُعَسِّرُوا
وَسَكِّنُوا وَلَا تُنَفِّرُوا
(صَحِيحُ الْبُخَارِي, ج۱۹ ص٨٧ ؛ صَحِيْحُ مُسْلِم, ج۹ ص١٥٤)
… dari Anas bin Malik
r.a. Nabi s.a.w. bersabda:
“Permudahlah, jangan mempersusah,
ringankanlah, dan jangan membuat
orang perpaling.”
(HR Bukhari dan Muslim)
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ
عَنْ مَالِكٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عُرْوَةَ
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّهَا قَالَتْ مَا خُيِّرَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ أَمْرَيْنِ قَطُّ إِلَّا أَخَذَ
أَيْسَرَهُمَا مَا لَمْ يَكُنْ إِثْمًا فَإِنْ كَانَ إِثْمًا كَانَ أَبْعَدَ النَّاسِ مِنْهُ
وَمَا انْتَقَمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
لِنَفْسِهِ فِي شَيْءٍ قَطُّ إِلَّا أَنْ تُنْتَهَكَ
حُرْمَةُ اللَّهِ فَيَنْتَقِمَ بِهَا لِلَّهِ
(صَحِيحُ الْبُخَارِي, ج۱۹ ص۸۸ ؛ مُوَطَّأُ مَالِك, ج٥ ص۳۸۰)
… dari ‘Ā’isyah r.a.
beliau berkata bahwa apabila
Rasulullah s.a.w. diharuskan memilih
dua hal beliau selalu memilih yang lebih
mudah dari keduanya selama bukan perbuatan
dosa, beliau adalah orang yang paling menjauh
dari berbuat dosa, dan Rasulullah s.a.w. tidak
pernah melakukan pemembalasan dendam
terhadap seseorang untuk dirinya mengenai
sesuatu apapun, kecuali pelanggaran atas
larangan Allah, maka beliau membalas
dendam untuk Allah.
(HR Bukhari dan Malik)
10. Arti Kata uma’nīnah dalam al-Qur’ān
Pada halaman 51 dari buku Pelatihan diceriterakan tentang t.uma’nīnah, sebagai suatu tehnik relaksasi dalam shalat. Disebutkan suatu hadits di mana Nabi s.a.w. menyuruh seseorang mengulang shalatnya karena belum dianggap melakukan shalat (tidak sah) karena tidak ada uma’nīnah ketika selesai ruku’ dan sujud dan antara kedua sujud.
Dengan menterjemahan surah al-Baqarah ayat 46: “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu” (Q. 2:46), yang tidak sesuai dengan terjemahan Departement Agama: “Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat” seperti tersebut di atas , Abu Sangkan menyebutkan 9 cara untuk memasuki shalat dalam bentuk praktek, yaitu: (1) Heningkan pikiran agar rileks; usahakan tubuh Anda tidak tegang…; (2) Biarkan tubuh meluruh, agak dilemaskan, atau bersikap serileks mungkin…; (3) Rasakan getaran kalbu yang bening dan sambungkan rasa itu kepada Allah, dan kalau sudah tersambung, suasana sangat hening dan tenang, serta terasa getarannya menyelimuti segala apa yang ada pada diri Anda…; (4) Bangkitkan kesadaran diri, bahwa Anda sedang berhadapan dengan Zat Yang Maha Kuasa, Yang meliputi Segala Sesuatu, Yang Mahahidup, Yang Mahasuci, Yang Mahaagung…; (5) Berniatlah dengan sengaja dan sadar sehingga muncul getaran rasa yang sangat halus dan kuat menarik rohani meluncur kehadirat-Nya. Pada saat itulah ucapkan takbir “Allahu Akbar”…; (6) Rasakan keadaan berserah yang masih menyelimuti getran jiwa Anda, dan mulailah perlahan-lahan 'membaca' setiap ayat dengan tartil…; (7) Setelah rukuk, Anda berdiri kembali perlahan sambil mengucapkan pujian kepada Zat Yang Maha Mendengar…; (8) Kemudian secara perlahan sambil tetap berdzikir: “Allahu Akbar”, bersujudlah serendah-rendahnya…; (9) Selanjutnya, lakukanlah shalat seperti di atas dengan pelan-pelan, thumaninah pada setiap gerakan…
Pertanyaan yang kemudian muncul, pakah pernah diajarkan Nabi cara-cara itu? Kalau ya, bagaimana bunyi haditsnya? Kalau tidak, apakah ini bukan suatu yang dibikin sendiri yang tidak diajarkan Nabi, atau penafsiran sendiri tentang ajaran Islam dalam hal memasuki shalat? Inikah yang dimaksud meditasi tertinggi dalam Islam? Bukankah yang tidak dianggap sahnya oleh Nabi seperti yang tersebut dalam hadits di atas adalah shalat yang tidak ada t.uma’nīnahnya pada tempat tertentu, bukan pada shalat seluruhnya, mulai dari takbiratul ihram sampai mengucapkan salam?
Apakah uma’nnah itu? Dalam al-Qur’ān disebutkan dalam ayat-ayat sebagai berikut (arti kata yang menunjukkan t.uma’nīnah ditulis dengan huruf tebal).
الَّذِينَ آَمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ.
(الرعد , ٢٨)
"(yaitu) orang-orang yang beriman dan
hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat
Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat
Allahlah hati menjadi tenteram.”
(Q. 13:28)
“Those who beleive, and those whose
hearts find rest in the remembranceof Allah,
verily, in the remembrance of
Allah do hearts find rest.”
(ََQ. 13:28).
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَعْبُدُ اللَّهَ عَلَى حَرْفٍ فَإِنْ أَصَابَهُ
خَيْرٌ اطْمَأَنَّ بِهِ وَإِنْ أَصَابَتْهُ فِتْنَةٌ انْقَلَبَ عَلَى وَجْهِهِ
خَسِرَ الدُّنْيَا وَالْآَخِرَةَ ذَلِكَ هُوَ الْخُسْرَانُ الْمُبِينُ
(الحج , ١١ )
Dan di antara manusia ada
orang yang menyembah Allah dengan
berada di tepi ,maka jika ia memperoleh
kebajikan, tetaplah ia dalam keadaan itu,
dan jika ia ditimpa oleh suatu bencara,
berbaliklah ia ke belakang. Rugilah ia
di dunia dan di akhirat. Yang demikian
itu adalah kerugian yang nyata.
(Q. 22:11)
And among mankind is he who
worships Allah as it were upon the edge
(i.e. in doubt): if good befalls him, he is content
therewith; but if a trial befalls him, he turns back
on his face (i.e. reverts to disbelief after embracing
Islam). He loses both this world and the
Hereafter. That is the evident loss.
(Q.22:11)
يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ, ارْجِعِي إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً
(الفجر:٢٧-٢٨)
Hai jiwa yang tenang. Kembalilah
kepada Tuhanmu dengan hati yang
puas lagi diridhai-Nya…
(Q. 89:27-28)
O you the one on (complete) rest and
satisfaction. Come back to your Lord,--well-pleased
(yourself) and well-plesing (to Him)
(Q. 89:27-28)
إِنَّ الَّذِينَ لَا يَرْجُونَ لِقَاءَنَا وَرَضُوا بِالْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاطْمَأَنُّوا بِهَا...
(يونس , ٧)
Sesungguhnya orang-orang yang tidak
mengharapkan (tidak percya akan) pertemuan dengan
Kami, dan merasa puas dengan kehidupan dunia
serta merasa tenteram dengan kehidupan itu...
(Q. 10:7)
Verily, those who hope not for their
meeting with Us, but are pleased and satisfied
with the life of the present world,…
(Q. 10:7)
فَإِذَا قضَيْتُمُ الصَّلَاةَ فَاذْكُرُوا اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى
جُنُوبِكُمْ فَإِذَا اطْمَأْنَنْتُمْ فَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ...
(النساء , ١٠٣ )
Maka apabila kamu telah menyelesaikan
salat (mu), ingatlah Allah di waktu berdiri,
di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian
apabila kamu telah merasa aman, maka
dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa)…
(Q. 4:103)
When you have finished as-salat (the
congregational prayer), remember Allah
standing, sitting down, and lying down
on your sides, but whenYou are free
from danger, perform as-salat…
(Q.4:103)
(Ayat di atas menerangkan shalat dalam keadaan perang, dan apabila merasa aman shalat dilakukan seperti biasa.)
َقالُوا نُرِيدُ أَنْ نَأْكُلَ مِنْهَا وَتَطْمَئِنَّ قُلُوبُنَا وَنَعْلَمَ أَنْ
قَدْ صَدَقْتَنَا وَنَكُونَ عَلَيْهَا مِنَ الشَّاهِدِينَ.
(المائدة , ١١٣)
Mereka berkata: “Kami ingin memakan
hidangan itu supaya tenteram hati kami,
dan supaya kami yakin bahwa kamu telah
berkata benar kepada kami, dan kami
menjadi orang-orang yang
menyaksikan hidangan itu.“
(Q. 5:113)
They said: “We wish to eat thereof and to
satisfy our hearts (to be stronger in Faith), and
to know that you have indeed told us the truth
and that we ourselves be its witnesses.”
(Q. 5:113)
(Pengikut Nabi Isa a.s. minta kepada beliau agar Allah mengirimkan kepada mereka hidangan dari langit agar bertambah keimanan mereka).
وَمَا جَعَلَهُ اللَّهُ إِلَّا بُشْرَى لَكُمْ وَلِتَطْمَئِنَّ قُلُوبُكُمْ بِه...
(آل عمران , ١٢٦)
Dan Allah tidak menjadikan pemberian bala bantuan
itu melainkan sebagai kabar gembira bagi (kemenangan) mu,
dan agar tenteram hatimu karenanya…
(Q. 3:126)
Allah made it not but as a message of good news
for you and as an assurance to your hearts…
(Q. 3:126)
مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ...
(النحل , ١٠٦)
Baran siapa yang kafir kepada Allah sesudah
dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali
orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap
tenang dalam beriman (dia tidak berdosa)…
(Q. 16:106)
Whoever disbelieved in Allah after his belief, except him
who is forced thereto, and whose heart is at rest with Faith…
(Q. 16:106)
قُلْ لَوْ كَانَ فِي الْأَرْضِ مَلَائِكَةٌ يَمْشُونَ مُطْمَئِنِّينَ
لَنَزَّلْنَا عَلَيْهِمْ مِنَ السَّمَاءِ مَلَكًا رَسُولًا
(الإسراء , ٩٥)
Katakanlah: “Kalau seandainya ada malaikat-malaikat yang
berjalan-jalan sebagai penghuni di bumi, niscaya Kami turunkan
dari langit kepada mereka satu malaikat menjadi rasul.”
(Q. 17: 95)
(Di sini malaikat yang berjalan di bumi dengan mutama’in
diterjemahkan dengan berjalan “sebagai penghuni bumi’)
Say: “If there were on the erth, angels walking about
in peace and security, We should certainly have sent down
for them from the heaven an angel as a Messenger.”
(Q. 17:95)
Dari ayat-ayat tersebut di atas kata t.uma’innah dan cabang (derivative)-nya diartikan dengan tenteram (find rest), tetap dalam keadaannya (is content), tenang (rest and satisfaction), merasa tenteram (satisfied), merasa aman (free from danger), tenteram (satisfy), tenteram (an assurance), tenang (at rest), sebagai penghuni bumi (in peace and security). Saya tidak/belum menemukan penterjemah yang menggunakan kata relax atau relaxation. Dalam Arabic-English Dictionary oleh Hans Wehr kata t.uma’nīnah diterjemahkan dengan calm, repose, serenity, peace, peacefulness, tranquillity; reassurance, peace of mind, composure, calmness, equanimity; trust, confidence, tidak diketemukan kata relax (rileks) dan relaxation (relaksasi). Kata relax menurut English-Indonesian Dictionary oleh John M. Echols dan Hasan Shadily adalah: (kk. transitif) 1. mengendurkan (spt. otot), 2. mengurangi (spt. tekanan); (kk. intransitive): bersenang-senang, beristirahat, bersantai-santai. Relax! Nothing is wrong. “Tenanglah! Tidak ada apa-apa.” Kata relax di sini berarti “menghilangkan kekuatiran”. Kata relaxation berarti: istirahat, persantaian, pengendoran (spt. otot, disiplin militer). Karena itu, menurut pendapat saya, adalah tidak tepat menterjemahkan kata t.uma’nnah dengan relax (releks) dan relaxation (relaksasi), atau menganggapnya “sebuah teknik relaksasi dalam shalat” seperti yang terdapat pada buku Pelatihan Shalat Khusyu' halaman 15.
Sebagaimana yang diajarkan Nabi menurut hadits yang disebutkan pada halaman 53 dan 54 dari buku tersebut, t.uma’nnah harus ada antara pada waktu ruku’ dan i’tidal (berdiri dari ruku’), pada waktu sujud (yang pertama dan yang kedua), dan pada waktu duduk di antara dua sujud. Secara umum, harus ada ketenangan (calmness), istirahat (repose, tidak bergerak) antara gerakan-gerakan dalam shalat, tidak seperti gerakan mesin. Apabila kita membaca bacaan sunnat di antara kedua gerakan dalam shalat, dengan sendirinya kita berhenti sejenak dalam setiap gerakan shalat, misalnya waktu ruku’ ada yang dibaca, waktu in’tidal ada bacaannya, juga waktu sujud dan duduk di antara kedua sujud, semuanya ada yang dibaca dengan tenang (tidak bergerak), karena bacaan-bacaan itu adalah ucapan yang diarahkan kepada Tuhan, karena kita berbicara langsung dengan Allah Swt. Di sinilah pentingnya mengerti apa yang dibaca itu agar tidak seperti mantra karena tidak dimengerti artinya.
uma’nnah adalah salah satu rukun shalat menurut mazhab Maliki, Hambali, dan sebagian pengikut Syafi‘i (sebagian lain menganggapnya syarat dari rukun shalat). Adapun menurut madzhab Hanafi hukumnya wajib berdasarkan perintah Nabi untuk melakukannya kepada seseorang yang shalatnya tidak sah, yaitu hadits yang HR Abu Hurayrah, sebagai berikut:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ
قَالَ حَدَّثَنِي سَعِيدُ بْنُ أَبِي سَعِيدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ الْمَسْجِدَ فَدَخَلَ رَجُلٌ فَصَلَّى فَسَلَّمَ
عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَدَّ وَقَالَ ارْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ
فَرَجَعَ يُصَلِّي كَمَا صَلَّى ثُمَّ جَاءَ فَسَلَّمَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَقَالَ ارْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ ثَلَاثًا فَقَالَ وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ مَا
أُحْسِنُ غَيْرَهُ فَعَلِّمْنِي فَقَالَ إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلَاةِ فَكَبِّرْ ثُمَّ اقْرَأْ مَا
تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنْ الْقُرْآنِ ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا ثُمَّ ارْفَعْ
حَتَّى تَعْدِلَ قَائِمًا ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ثُمَّ ارْفَعْ
حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا وَافْعَلْ ذَلِكَ فِي صَلَاتِكَ كُلِّهَا
(متفق عليه)
… dari Abu Hyrayrah bahwa
Rasulullah s.a.w. masuk ke mesjid,
kemudian masuklah seorang laki-laki,
lalu ia memberi salawat dan salam kepada
Nabi s.a.w. maka beliau membalas (salamnya),
lalu beliau berkata, “Kembalilah shalat, karena Anda
belum shalat,” lalu ia kembali seperti shalat sebelumnya.
Kemudian datanglah ia dan memberi salam kepada Nabi s.a.w.,
lalu beliau berkata, “Kembalilah shalat, karena Anda belum
shalat” tiga kali, lalu berkatalah (orang itu), “Demi (Allah)
Yang mengutus Anda dengan sebenarnya, saya tidak dapat
(shalat) lebih baik dari itu, maka ajarilah saya.” Maka
berkatalah beliau, “Apabila Anda berdiri untuk shalat
bertakbirlah, lalu bacalah ayat-ayat Qur’ān yang
mudah bagi Anda, lalu ruku’lah sampai istirahat
dalam ruku’ itu, lalu bangkit sehingga berdiri
lurus, lalu sujudlah sampai istirahat dalam
sujud, lalu perbuatlah demikian
dalam shalat seluruhnya.”
(HR Bukhari dan Muslim)
Secara umum mereka sepakat bahwa t.uma’nīnah itu harus ada dalam shalat berdasarkan hadits tersebut di atas.
Apakah t.uma’nīnah itu dalam shalat? Keempat mazhab memberikan definisi yang hampir sama, sebagai berikut:
a. Hanafi:
تَسْكِيْنُ اْلجَوَارِحِ قَدْرَ تَسْبِيْحِهِ فِي الرُّكُوْعِ وَالسُّجُوْدِ, وَالرَّفْعِ مِنْهُمَا.
Mendiamkan anggota badan (lamanya) sekedar bertasbih
waktu ruku’, sujud, dan bangkit dari keduanya.
b. Maliki:
اِسْتِقْرَارُالْأَعْضَاءِ زَمَنًا ِفي جَمِيْعِ أَرْكَانِ الصَّلاَةِ.
Berdiamnya anggota badan sebentar pada semua rukun shalat.
c. Syafi’i:
سُكُوْنٌ بَعْدَ حَرَكَةٍ أَوْ سُكُوْنٌ بَيْنَ حَرَكَتَيْنِ بِحَيْثُ يَنْفَصِلُ مَثَلًا رَفْعُهُ عَنْ هُوِيِّهِ.
وَأَقَلُّهَا: أَنْ تَسْتَقِرَّ اْلأَعْضَاءُ فِي الرُّكُوْعِ مَثَلًا عَنِ اْلهُوِيِّ.
Diam sesudah gerakan atau diam di antara
dua gerakan, sehingga ada pemisahan misalnya
antara bangkit dan membengkokkan badan. Paling
kurang anggota badan itu diam, misalnya waktu
ruku’ dari membengkokkan anggota badan.
d. Hambali:
اَلسُّكُوْنُ وَإِنْ قَلَّّ
Diam (tidak bergerak) sekalipun sedikit.
Tempat di mana t.uma’nīnah itu harus ada untuk sahnya shalat adalah: di waktu ruku’, i‘tidal (berdiri dari ruku‘), sujud dan duduk di antara dua sujud.
11. Apakah waktu Duduk Iftirāsy Tempat
untuk Berkonsultasi dengan Allah?
Dalam buku Pelatihan Shalat Khusyu', Abu Sangkan mengatakan:
Pada saat duduk (iftirasy) sebenarnya
beliau [Nabi] sedang melakukan dialog untuk
menyelesaikan persoalan yang dirasa rumit untuk
dipecahkan. Pada saat itulah beliau menunggu jawaban
atas kesulitan yang beliau alami. Mengapa kita tidak
mengambil pelajaran dari cara beliau dengan menjadi-
kan shalat sebagai alat untuk berkomunikasi dan
memohon pertolongan kepada Allah, serta
tempat mengistirahatkan jiwa dan fisik.
Saya ingin mendapat keterangan lebih lanjut dan sumber informasi di mana dinyatakan bahwa Nabi saat duduk iftirasy (yaitu duduk antara dua sujud dan duduk sesudah tasyahhud awwal) sedang melakukan dialog dengan Tuhan dan menunggu jawaban Tuhan atas kesulitan beliau yang beliau alami. Yang saya ketahui adalah bahwa Nabi kalau menghadapi sesuatu masalah berat beliau terus shalat, seperti disebutkan dalam hadits di bawah ini:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا حَزَبَهُ أَمْرٌ فَزِعَ إِلىَ الصَّلَاةِ
(نُظُمُ الدُّرَرِ لِلْبِقَاعِي, باب۲۳۸,ج۱,ص۳٦۸)
Nabi s.a.w. dalam menghadapi
masalah yang berat (menyusahkan), beliau
mencari perlindungan dengan shalat.
(HR al-Biqā‘ī)
(Hadits yang sama bunyinya terdapat pada
Sunan Abū Dāwūd, hadits no. 1319)
Shalat memang kebahagiaan beliau. Waktu senang pun beliau sudah banyak mengerjakan shalat, apalagi dalam mengalami kesulitan. Kita harus mencontoh beliau, mencari perlindungan dari Allah dengan mengerjakan shalat. Banyak orang yang apabila menghadapi masalah berat atau sedang stres menghibur diri dan mencari pelarian dengan makan enak-enak sekalipun tidak lapar, sehingga mereka menjadi gemuk. Ini berarti tidak semua orang gemuk itu senang. Ada juga yang mencari pelarian dengan merokok dan minum minuman keras, terutama di negeri Barat di mana minuman keras mengambil peranan dikala orang sangat senang dan berpesta atau sangat susah sampai mabuk-mabuk untuk melupakan problem yang tengah mereka hadapi. Abu Nawas (Abū Nuwās, w. 199/815), penyair Arab yang terkenal di zaman Abbasiah, sebelum bertobat, suka minum minuman keras, dalam salah satu sya’irnya (konon sampai 10799 baris) mengatakan, “berilah saya minum sampai Anda melihat saya mengira ayam jantan itu seekor keledai.” (اَسْقِنِيْهَا حَتىَّ تَرَانِيْ * أَحْسِبُ الدِّيْكَ حِمَارًا)
Pernyataan bahwa “shalat adalah meditasi tertinggi dalam Islam” adalah tidak tepat, karena shalat adalah ibadah yang berbentuk berbicara dengan Allah dari awal waktu membaca Fatihah, mulai dalam bentuk ketiga (“Dia”), yaitu Al-h.amdu lillāhi rabbil ‘ālamīn “segala puji bagi Allah Tuhan seru sekalian alam” dan diakhiri dengan bentuk orang kedua (“Engkau”), yaitu innaka h.amīdun majīd (“sesungguhnya Engkau maha Terpuji dan Maha Agung”). Isi komunikasi dengan Allah itu berupa pujian, syukur, doa minta petunjuk, dan lain-lain, tetapi tidak menunggu jawaban dari Allah. Dalam shalat kita mengabdi, mengakui bahwa Dia adalah Tuhan kita dengan segala sifat kesempurnaan-Nya, sedang kita adalah hamba-Nya yang sedang mematuhi salah-satu perintah-Nya, yaitu shalat. Adapun meditasi adalah “mendengarkan” seperti yang disebutkan oleh Erich Schiffmann, sebagai berikut:.
Meditation means
listening, and the meditative
mind is the “listening-to-Infinite-Mind”
mind.... It’s about you and your specific
mind listening to, being guided
by, and communing with
Infinite Mind, God.
Meditasi artinya mendengarkan,
dan pikirian yang mendengarkan adalah
pikirian “yang mendengarkan Pikiran Yang tak
Terbatas”.... Ia adalah tentang Anda dan pikiran Anda
yang tertentu yang sedang mendengarkan kepada, diberi
petunjuk oleh, dan berhubungan erat dengan
Pikirian Yang tak Terbatas, Tuhan.
(Keterangan tentang yoga dan meditasi akan diberikan kemudian).
Tetapi bahwa Nabi waktu duduk iftirasy menunggu jawaban Tuhan atas kesulitan yang beliau alami, lalu beliau bermeditasi (dalam shalat) sambil menunggu untuk “mendengarkan” (ilham atau wahyu) dari Allah adalah hal yang asing dan baru. Yang saya ketahui pada waktu shalat kita sibuk dengan bacaan dengan gerakan lidah dan didengar oleh telinga kita sendiri, ditambah dengan hati yang menghayati sekaligus mengikuti bacaan kita, sehingga hati terkonsentrasi mengikuti bacaan, ditambah ingatan kita akan gerakan yang akan, sedang dan sudah kita lakukan.
Apakah Nabi berlama-lama duduk iftirasy karena sedang menunggu jawaban Tuhan atas persoalan beliau? Di sinikah tempatnya mengajukan problem kita kepada Tuhan dan menunggu jawaban-Nya? Bagaimana kalau jawaban Tuhan tidak kunjung datang, apakah harus ditunggu lebih lama lagi sampai datang? Di sinikah tempatnya kita berkonsultasi dengan Tuhan? Kenapa bukan diluar shalat, dan apakah tidak cukup dengan doa dan permintaan kita untuk mendapatkan hidayat-Nya kepada jalan yang lurus? Apakah tidak cukup dengan Shalat Istikhārah kalau kita mengkonsultasikan kepada Tuhan segala masalah yang kita hadapi? Itu pun doanya sesudah shalat, bukan di waktu Shalat Istikhārah. Kalau betul Nabi menjadikan duduk iftirasy untuk berkonsultasi dengan Tuhan serta menunggu jawaban-Nya, dan kalau memang itu yang beliau ajarkan, tentu kita juga mengikutinya. Tetapi, bagaimana kalau beliau tidak melakukannya, kemudian kita melakukannya, apakah ini tidak menyalahi ajaran beliau? Mungkin pendapat ini berdasarkan hasil terjemahan Abu Sangkan terhadap ayat (البقرة ، ٤٦) وَاسْتَعِيْنُوْا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ dengan terjemahan “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu,” sedang Departemen Agama menterjemahkannya dengan “Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat (Q. 2:46), seperti disebut di atas.
Lalu, bagaimana dengan ayat yang mengatakan bahwa “Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar” (Q. 29:45), bukankah shalat telah menolong menghindari pelakunya dari perbuatan keji dan mungkar? Ayat ini diterangkan oleh Ibn Kathr dalam tafsirnya, sebagai berikut: “Shalat mempunyai tiga sifat: 1) ikhlas, yang mendorong pelaku shalat untuk berbuat baik; (2) rasa takut yang menghalangi pelaku shalat dari berbuat jahat; dan (3) ingat akan Allah, yaitu Qur’an (yang dibaca waktu shalat) yang mengandung perintah dan larangan Allah. Kesimpulannya: kita minta tolong kepada Allah dengan melakukan kesabaran dan mendirikan shalat, dan shalat adalah alat yang digunakan Tuhan untuk mencegah kita dari berbuat keji dan mungkar.
12. Bacaan dan Doa Sebelum, Waktu
Sedang dan Sesudah Berwudhu’.
Pada halaman 64 dari buku Pelatihan Shalat Khusyu' diterangkan proses wudhu’ dari segi spirituilnya, misalnya, memulai wudu’ dengan menbaca bismillah, dan seterusnya. Tetapi penjelasan itu tidak mendetail, karena yang dipentingkan sang penulis adalah membaca bismillah pada waktu mulai beruwudu dan adanya getaran rasa tenang dan getaran kesambungan/ingat Allah serta berdoa sesudah berwudu. Adapun detailnya adalah sebagai berikut:
a. Bacaan dan doa sebelum wudu’
Membaca bismillah, salah satu di antaranya sebb.:
1. بِسْمِ الله (bismillāh), artinya, “dengan nama Allah”
2. بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْم (bismillāhir rah.mānir rah.īm), artinya, “dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang”. Menurut suatu hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Nabi Muhammad s.a.w. bersabda,
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ آدَمَ حَدَّثَنَا ابْنُ مُبَارَكٍ عَنِ الْأَوْزَاعِيِّ عَنْ قُرَّةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنِ الزُّهْرِيِّ
عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلُّ كَلَامٍ أَوْ أَمْرٍ
ذِي بَالٍ لَا يُفْتَحُ بِذِكْرِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَهُوَ أَبْتَرُ أَوْ قَالَ أَقْطَعُ )مُسْنَدُ أَحْمَد ج ۱۷ ص ۳۹۷)
… Rasulullah s.a.w. bersabda: “Setiap ucapan atau
perbuatan penting tidak dimulai dengan menyebut
[nama] Allah Yang Maha Mulia dan Maha Agung
maka ia terputus [kesempurnaannya]
(Musnad Ahmad, 17:397)
3. بِسْمِ اللّهِ الْعَظِيْم وَالْحَمْدُ لِلّهِ عَلَى دِيْنِ الْإسْلاَم (bismillāhil ‘adzīm wal h.amdu lilāhi ‘alā dīnil islām), artinya, “atas nama Allah Yang Maha Agung dan pujian untuk Allah atas agama Islam”. (Bacaan ini berdasarkan hadits Nabi riwyat al-Tabrānī dari Abu Hurairah). Ada beberapa hadits Nabi tentang pentingnya membaca h.amdalah (pujian kepada Allah Swt, yaitu al-hamdu lillāh), antara lain sebagai berikut:
…الزُّهْرِيِّ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
كُلُّ أَمْرٍ ذِي بَالٍ لَا يُبْدَأُ فِيهِ بِالْحَمْدِ أَقْطَعُ (سُنَنُ إبْنِ مَاجَه ج٦ ص ٥)
… dari Abu Hurairah Pesuruh Allah s.a.w. bersabda:
“Setiap perbuatan penting tidak dimulai dengan pujian
[kepada Allah] akan terputus [kesempurnaannya].”
(Sunan Ibn Majah 6:5)
(Hadits yang isinya hampir sama diriwayatkan juga oleh
al-Nasā’ī dalam al-Sunan al- Kubrā, 6:127).
Menurut madzhab Hambali membaca bismillah sebelum berwudu’ adalah wajib berdasarkan atas hadits Nabi sebagai berikut:
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مُوسَى عَنْ يَعْقُوبَ بْنِ سَلَمَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَا وُضُوءَ لَهُ وَلَا
وُضُوءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُرْ اسْمَ اللَّهِ تَعَالَى عَلَيْه ِ(سُنَنُ أَبِي دَاءُوْد ج۱ ص۱٤۱)
… dari Abu Hurairah Pesuruh Allah s.a.w. bersabda:
“Tidak ada shalat bagi orang yang tidak berwudu’, dan
Tidak ada wudu’ bagi orang yang tidak menyebut
Nama Allah Swt padanya.”
(Sunan Abu Da’ud, 1:141)
Menurut Rabī‘ah hadits tersebut di atas dimaksudkan bagi orang yang berwudu’ tanpa niat. Para jumhur ulama berpendapat bahwa maksud hadits diatas adalah wudu’ tanpa membaca bismillah menyebabkan wudu’ tidak sempurna, bukan tidak sah.
Hal yang sama adalah hadits Nabi yang mengatakan:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم –
« لاَ صَلاَةَ لِجَارِ الْمَسْجِدِ إِلاَّ فِى الْمَسْجِدِ ». (سُنَنُ الدَّارَقُطْنِي ج٤ ص۲۳۹)
… dari Abu Hurayrah, Pesuruh Allah bersabda:
“Tidak ada shalat bagi orang yang bertetangga
dengan mesjid kecuali di mesjid.”
(Sunan al-Dāraqut.nī, 4: 239)
Maksudnya adalah tidak ada shalat yang lebih baik bagi orang yang tinggal dekat mesjid kecuali di mesjid; sama halnya dengan ungkapanلاَ فَتًى إِلاَّ عَلِي (“tidak ada pemuda selain ‘Ali”), maksudnya adalah tidak ada pemuda sehebat Ali, bukan berarti bahwa hanya Alilah yang pemuda.
Para fuqaha’ berpendapat bahwa membaca bismillah pada waktu memulai berwudu’ hukumnya adalah sunnat berdasarkan hadits sebagai berikut:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-
« مَنْ تَوَضَّأَ وَذَكَرَ اسْمَ اللَّهِ تَطَهَّرَ جَسَدُهُ كُلُّهُ وَمَنْ تَوَضَّأَ
وَلَمْ يَذْكُرِ اسْمَ اللَّهِ لَمْ يَتَطَهَّرْ إِلاَّ مَوْضِعُ الْوُضُوءِ ».
(سنن الدارقطني ج١ ص٢٦٢)
… dari Abu Hurayrah, Pesuruh Allah s.a.w.
bersabda:“Barangsiapa berwudu' dan menyebut
nama Allah, maka seluruh badannya menjadi bersih,
dan barangsiapa tidak menyebut nama Allah,
maka hanya anggota badannya yang kena
air wudu' yang menjadi bersih.”
(HR al-Dāraqun)
(Hadits yang sama bunyinya diriwayatkan juga oleh al-Bayhaq).
b. Bacaan dan doa waktu sedang berwudu’
Bacaan dan doa waktu sedang berwudu’ tidak diketemukan dalam hadits seperti yang dikemukakan oleh Imam an-Nawawi. Meskipun begitu madzhab Hanafi dan Maliki menganggap terpuji membacanya, dan sebagian ulama dari madhhab Syafi‘ī membolehkannya. Kita muat dalam buku kecil ini bacaan dan doa tersebut dengan harapan membantu kita dalam melakukan wudu’ dengan penuh kesadaran dan khidmat sebelum melaksanakan shalat. Bagi yang susah membacanya dalam bahasa Arab cukup dengan membaca artinya.
Adapun bacaan itu menurut al-Zuhaylī dan Buku Kegiatan Amaliyah Ramadhan untuk SD/MI oleh Departement Agama Kantor Wilayah Propinsi Sulawesi Selatan pada tahun 2001 adalah sebagai berikkut:
1. Waktu memulai wudu’
الَلّهُمَّ اغْفِرْ لِيْ ذَنْبِيْ وَوَسِّعْ لِيْ فِيْ دَارِيْ وَبَارِكْ لِيْ فِيْ رِزْقِيْ وَ قَنِّعْْنِيْ بِمَا رَزَقْتَنِيْ
وَلاَ تُفْتِنِيْ بِمَا زَوَيْتَ عَنِّيْ
“Ya Allah, ampunilah dosaku, lapangkanlah rumah-tanggaku,
Berkatilah rezekiku, puaskanlah hatiku dengan apa yang
Engkau telah rezkikan kepadaku, janganlah Engkau
mengujiku dengan [nikmat] yang Engkau tarik
kembali dariku”
Doa ini dibaca oleh Nabi waktu mulai berwudu menurut riwayat al-Tirmidzi dari Abu Hurairah.
2. Waktu membasuh telapak tangan
أَللّهُمَّ احْفِظْ يَدِيْ مِنْ مَعَاصِيْكَ كُلِّهَا
“Ya Allah, peliharalah tanganku dari segala
Kedurhakaan kepada-Mu
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ اَلْحَمْدُ ِللهِ الَّذِيْ جَعَلَ اْلمَاءَ طَهُوْرًا.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Mah
Penyayang, Segala puji bagi Allah yang
menjadikan air itu bersih (suci).”
3. Pada saat berkumur-kumur atau membersihkan gigi:
أَللّهُمَّ أَعِنٍّيْ عَلَى تِلاَوَةِ الْقُرْآنِ وَذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ
“Ya Allah, bantulah aku dalam membaca Qur’an, berdzikir
(mengingat) kepada-Mu, bersyukur kepada-Mu dan
beribadah dengan baik kepada-Mu.”
الَلّهُمَّ اسْقِنِيْ مِنْ حَوْضِ نَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ كَأْسًا لَا أَضْمَأُ بَعْدَهُ أَبَدًا.
“Ya Allah, berikanlah kepadaku minuman dari
tempat air Nabi-Mu Muhammad s.a.w.
yang tidak ada dahaga sesudahnya.”
4. Pada waktu membersihkan lubang hidung/mengisap air
الَلّهُمَّ ارِحْنِيْ رَائِحَةَ اْلجَنَّةوَ لَا تُرِحْنِيْ رَائِحَةَ النَّارِ
Ya Allah, karuniailah kepadaku dengan
(mencium) bau sorga dan hindarilah aku
dari (mencium) bau neraka.
5. Pada waktu mulai membasuh muka:
الَلّهُمَّ َبَِيِّضْ وَجْهِيْ يَوْمَ تَبْيَضُّ وُجُوْهٌ وَتَسْوَدُّّ وُجُوْهٌ.
Ya Allah, putih bersihkanlah wajahku pada hari di mana
Engkah memutihkan dan menghitamkan wajah (manusia).
[Ket.: Doa ini berkenaan dengan ayat-ayat Qur’ān, sebagai berikut:
يَوْمَ تَبْيَضُّ وُجُوهٌ وَتَسْوَدُّ وُجُوهٌ فَأَمَّا الَّذِينَ اسْوَدَّتْ
وُجُوهُهُمْ أَكَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ فَذُوقُوا الْعَذَابَ بِمَا كُنْتُمْ تَكْفُرُونَ. وَأَمَّا
الَّذِينَ ابْيَضَّتْ وُجُوهُهُمْ فَفِي رَحْمَةِ اللَّهِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ.
(آل عمران, ١٠٦-١٠٧)
Pada hari yang di waktu itu ada muka yang putih berseri,
dan ada pula muka yang hitam muram. Adapun orang-orang
yang hitam muram mukanya (kepada mereka dikatakan),
“Mengapa kamu kafir sesudah kamu beriman? Karena
itu rasakanlah azab yang disebabkan kekafiranmu itu.”
Adapun orang-orang yang putih berseri mukanya,
maka mereka berada di dalam rahmat Allah
(surga); mereka kekal didalamnya.
(Q. 3:106-107)]
6. Pada waktu membasuh kedua tangan:
Waktu membasuh tangan kanan:
الَلّهُمَّ اعْطِنِيْ كِتَابِيْ بِيَمِيْنِيْ وَحَاسِبْنِيْ حِسَابًا يَسِيْرًا.
Ya Allah, berikanlah kitab catatanku dengan tangan
kananku dan perhitungkanlah aku dengan
perhitungan yang mudah.
[Ket.: Doa ini berkenaan dengan ayat al-Qur’ān, sebagai berikut:
فَأَمَّا مَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ بِيَمِينِهِ فَسَوْفَ يُحَاسَبُ حِسَابًا يَسِيرًا. وَيَنْقَلِبُ إِلَى أَهْلِهِ مَسْرُورًا.
(الإنشقاق, ٧-٩)
Adapun orang yang diberikan kitabnya dari sebelah
kanannya,maka dia akan diperiksa dengan pemeriksaan
yang mudah, dan dia akan kembali kepada kaumnya
(yang sama-sama beriman) dengan gembira.
(Q. 84:7-9)]
Waktu membasuh tangan kiri:
الَلّهُمَّ لَا تُعْطِنِيْ كِتَابِيْ بِشِمَالِيْ وَلَا ِمنْ وَرَاءِ ظَهْرِيْ.
Ya Allah, janganlah Engkau berikan kitab catatanku dengan
tangan kiriku dan janganlah dari belakang punggungku.
[Ket.: Doa ini berkenaan dengan ayat-ayat Qur’ān, sebagai berikut:
وَأَمَّا مَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ بِشِمَالِهِ فَيَقُولُ يَا لَيْتَنِي لَمْ أُوتَ كِتَابِيَهْ وَلَمْ أَدْرِ مَا حِسَابِيَهْ.
(الحاقة, ٢٥-٢٦)
Adapun orang yang diberikan kepadanya kitabnya dari
sebelah kirinya, maka dia berkata: “Wahai alangkah baiknya
kiranya tidak diberikan kepadaku kitabku (ini), dan aku
tidak mengetahui apa hisab terhadap diriku.
(Q. 69: 25-26)
وَأَمَّا مَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ وَرَاءَ ظَهْرِهِ فَسَوْفَ يَدْعُو ثُبُورًا وَيَصْلَى سَعِيرًا.
(الإنشقاق, ١٠-١٢)
Adapun orang yang diberikan kitabnya dari belakang,
maka dia akan berteriak, “Celakalah aku.” Dan dia akan
masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).
(Q. 84: 10-12)].
7. Pada saat mengusap kepala:
الَلّهُمَّ حَرِّّمْ شَعْرِيْ وَ بَشَرِيْ عَلَى النَّارِ.
Ya Allah, haramkanlah rambutku dan
tubuhku disentuh api neraka.
8. Pada waktu menyapu kedua telinga:
َاللّهُمَّ اجْعَلْنِيْ مِنَ الَّذِيْنَ يَسْتَمِعُوْنَ اْلقَوْلَ فَيَتَّبِعُوْنَ أَحْسَنَهُ.
Ya Allah, jadikanlah aku dari orang-orang yang
mendengarkan firman-Mu dan mengikutinya
dengan sebaik-baiknya.
[Ket.: Doa ini berkenaan dengan ayat Qur’ān, sebagai berikut:
وَالَّذِينَ اجْتَنَبُوا الطَّاغُوتَ أَنْ يَعْبُدُوهَا وَأَنَابُوا إِلَى اللَّهِ
لَهُمُ الْبُشْرَى, فَبَشِّرْ عِبَادِ الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ
أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَاهُمُ اللَّهُ وَأُولَئِكَ هُمْ أُولُو الْأَلْبَابِ.
(الزمر, ١٧-١٨)
Dan orang-orang yang menjauhi thaghut
(yaitu) tidak menyembahnya dan kembali kepada
Allah, bagi mereka berita gembira; sebab itu sampaikanlah
berita itu kepada hamba-hamba-Ku, yang mendengarkan
perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya
[yaitu ajaran al-Qur’ān]. Mereka itulah orang-orang
yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah
orang-orang yang mempunyai akal.
(Q. 39:17-18)]
9. Pada saat membasuh kedua kaki:
اََللّهُمَّ ثَبِّتْ قَدَمِيْ عَلَى الصِّرَاطِ يَوْمَ تَزِلُّ الأّقْدَامُ
Ya Allah, tetapkanlah kakiku di atas jalan yang
benar pada hari kaki tergelincir.
[Ket.: Doa ini berkenaan dengan ayat Qur’ān, sebagai berikut:
وَلَمَّا بَرَزُوا لِجَالُوتَ وَجُنُودِهِ قَالُوا رَبَّنَا أَفْرِغْ عَلَيْنَا
صَبْرًا وَثَبِّتْ أَقْدَامَنَا وَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ.
(البقرة, ٢٥٠)
Tatkala mereka nampak oleh
Jalut dan tentaranya, merekapun (Thalut
dan tentaranya) berdo’a: “Ya Tuhan kami,
tuangkanlah kesabaran atas diri kami, dan
kokohkanlah pendirian kami dan tolonglah
kami terhadap orang-orang kafir.”
(Q. 2:250).
)Doa ini dibaca oleh T.ālūt dan tentaranya ketika melihat Jālūt dan tentaranya, dan doa mereka terkabul dan menang dalam peperangan antara kedua bala tentara itu(.
وَمَا كَانَ قَوْلَهُمْ إِلَّا أَنْ قَالُوا رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَإِسْرَافَنَا
فِي أَمْرِنَا وَثَبِّتْ أَقْدَامَنَا وَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ.
(آل عمران, ١٤٧)
Tidak ada do’a mereka selain ucapan:
“Ya Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami
dan tindakan-tindakan kami yang berlebih-lebihan
dalam urusan kami dan tetapkanlah pendirian kami,
dan tolonglah kami terhadap kaum yang kafir.”
(Q. 3:147)
(Doa ini dibaca oleh pengikut nabi-nabi terdahulu
dalam menghadapi musuh-musuh mereka)].
[Kata s.irāt. arti asalnya adalah “jalan” seperti yang diterjemahkan di atas. Artinya yang lain adalah titian yang terbentang di atas neraka yang harus ditempuh oleh setiap orang pada Hari Kiamat. Banyak hadits menyebutkan hal itu. Orang yang pertama akan menempuhnya adalah Nabi Muhammad s.a.w., dan ummat yang pertama akan menempuhnya adalah ummat beliau, ummat Islam. Doa di atas dimaksudkan agar kaki kita tetap di atas titian itu dan jangan sampai tergelincir dan jatuh kedalam neraka].
Dengan membaca dan menghayati bacaan doa-doa tersebut di atas, sekalipun terjemahannya saja, diharapkan akan menimbulkan atau menambah kekhusyu‘an kita dalam shalat.
c. Bacaan dan doa sesudah berwudu’
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إ ِلهَ إِلاَّ اللّه ُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ , وَ أَ شْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
“Saya bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah Yang Maha
Esa, tidak ada sekutu bagi-NYa, dan saya bersaksi bahwa
Muhammad adalah hamba-Nya dan pesuruh-Nya.”
Membaca syahadat ini menurut hadits riwayat Muslim, Abu Da’ud dan Ibnu Majah dari ‘Umar bahwa Nabi s.a.w. bersabda bahwa barangsiapa membacanya sesudah berwudu’ dengan sempurna, Allah akan membuka pintu sorga yang delapan itu untuk dimasukinya menurut pilihannya.
سُبْحَانَكَ اللّهُمَّ وَ بِحَمْدِكَ, أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاّ أنْتَ, أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ
أَللّهُمّ اجْعَلْنِيْ مِنَ التَّوَّابِيْنَ , وَاجْعَلْنِيْ مِنَ الْمُتَطَهِّرِيْنَ (رواه أحمد و أبو داءود)
“Maha suci Engkau Ya Allah, dan pujian kepada-Mu saya
bersaksi bahwasanya tidak ada tuhan selain Engkau, saya
binta ampun dan bertobat kepada-Mu. Ya Allah, jadikanlah
aku termasuk orang yang bertaubat dan jadikanlah
aku termasuk orang yang ber-suci.“
(H.R. Ahmad dan Abu Da’ud)
13. Apakah Kita Harus Menghilangkan
Rasa Takut dalam Mengerjakan Shalat?
Dalam buku Pelatihan Shalat Khusyu' disebutkan:
Ubahlah pikiran lama kita tentang rasa takut kepada Allah,
tetapi jadikanlah shalat sebagai sarana berkomunikasi yang akrab, santai dan nyaman, sebagaimana orang-orang melakukan
yoga untuk mencari ketenangan dan kedamaian jiwa.
Kalau kita merubah pikiran lama tentang persaan takut kepada Allah saat shalat, berarti kita menghilangkannya dan menggantinya dengan yang lain, yaitu dengan menjadikan shalat sebagai sarana berkomunikasi yang akrab (dengan Tuhan), santai dan nyaman, berarti kita menghilangkan perasaan yang seharusnya ada waktu shalat seperti yang disebutkan dalam Tafsir Ibn Katsir di atas perihal tiga sifat dalam shalat: ikhlas, rasa takut dan ingat pada Allah. Tidak usah jauh jauh! Menghadap penguasa saja, seperti presiden, kita tidak santai dan releks, takut kalau ada kesalahan dalam perkataan, perbuatan, gerak gerik, dan lain-lain. Apalagi menghadap Yang Maha Kuasa, Maha Pencipta langit dan bumi dan segala makhluknya, dapatkah kita releks dan santai? Sahabat Nabi sendiri, yaitu ayah dari Mut.arrif menyaksikan Nabi menangis waktu sedang shalat, seperti yang disampaikannya dalam hadits di bawah ini:
حَدَّثَنِي عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ سَلَّامٍ حَدَّثَنَا يَزِيدُ يَعْنِي ابْنَ هَارُونَ أَخْبَرَنَا
حَمَّادٌ يَعْنِي ابْنَ سَلَمَةَ عَنْ ثَابِتٍ عَنْ مُطَرِّفٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يُصَلِّي وَفِي صَدْرِهِ أَزِيزٌ كَأَزِيزِ الرَّحَى مِنْ الْبُكَاءِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
(سُنَنُ أَبِى دَاءُوْد , بَابُ الْبُكَاءِ فِى الصَّلاة , ج ٣, ص ٧٧ )
…dari Mutarrif, dari ayahnya ia berkata,”Saya melihat
Rasulullah s.a.w. sedang shalat dan ada desis di dada beliau,
seperti desis penggilingan tangan dari tangis beliau s.a.w.”
(HR Abū Da’ūd)
أَخْبَرَنَا سُوَيْدُ بْنُ نَصْرٍ قَالَ أَنْبَأَنَا عَبْدُ اللَّهِ عَنْ حَمَّادِ بْنِ سَلَمَةَ عَنْ ثَابِتٍ الْبُنَانِيِّ عَنْ مُطَرِّفٍ عَنْ
أَبِيهِ قَالَ أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يُصَلِّي وَلِجَوْفِهِ أَزِيزٌ كَأَزِيزِ الْمِرْجَلِ يَعْنِي يَبْكِي
(سُنَنُ النَّسَائِي , بَابُ اْلبُكَا ءِ فِي الصَّلاة , ج ٤, ص ٤٥٦)
...dari Mutarrif dari ayahnya ia berkata“Saya datangi Nabi
s.a.w. waktu beliau sedang shalat dan di dada beliau ada desis
seperti desis cerek (yang mendidih) dari tangis beliau.“
(HR al-Nasā’ī)
Apakah Nabi waktu menangis dalam shalat juga releks dan santai? Ada seorang famili saya, pensiunan Departement Agama, yang shalat jamaahnya hampir tidak putus, termasuk shalat Subuh, pernah saya dengar menangis waktu sedang shalat Tahajjud. Begitu pun yang terjadi pada AG (Anre Gurutta, lit.“guru besar kita”, seperti gelar “kyai” di Jawa) H. Muhammad As‘ad (1907-1952), pendiri pesantren al-Madrasah al-‘Arabiyah al-Islamiyah (MAI) di Sengkang (Sulawesi Selatan), yang kemudian setelah beliau wafat diganti namanya menjadi al-Madrasah al-As‘adiyah (MA). Setiap beliau mengimani shalat jamaah di mesjid, saat membaca takbiratul ihram (Allahu Akbar), tangan dan kepala beliau selalu gemetar. Ini saya saksikan sendiri berkali-kali antara tahun 1951dan 1952 , karena saya kerap menjadi ma’mum beliau sebelum saya belajar di pesantren al-Madrasah al-As‘adiyah.
AGH. Muhammad As‘ad lahir di Mekkah, kemudian datang ke Sulawesi Selatan pada tahun 1928. Beliau adalah seorang h.āfiz. (hafal Qur’an) dan guru dari para ulama terkemuka di Sulawesi Selatan. di antara murid beliau yang terkenal yaitu: (a) AGH. Abd. Rahman Ambo Dalle (1900-1996) - belajar pada beliau selama 6 tahun (1930-1935) - adalah pendiri pesantren Madrasah Tarbiyah Islamiyah di Mangkoso tahun 1938 (Kab. Barru), pesantren DDI (Darud Da’wah wal-Irsyad) di Ujung Lare tahun 1957 (Kab. Pare-Pare), pesantren Manāhil al-‘Ulūm di Kaballang tahun 1978 (Kab. Pinrang), dan lembaga pendidikan Islam DDI pada tahun 1947. Pada tahun 1955-1963, AGH. Abd. Rahman Ambo Dalle pernah diculik oleh DI/TII; (b) AGH. Daud Ismail (1908-2006) - belajar pada beliau selama 12 tahun (1930-1942) - adalah pendiri Yayasan Perguruan Islam Beowe pada tahun 1961 di Beowe (Kab. Soppeng); dan (c) AGH. Muhammad Yunus Martan (1914-1986) - belajar pada beliau selama 9 tahun (1935-1944) - yang lantas menjadi tenaga pengajar di MAI, dan menjadi pemimpin tunggal Perguruan As’adiyah pada tahun 1961; putra beliau AGH. M. Rafii Yunus Martan, M.A. Ph.D. (l. 1941), yang pada tahun 2007 masih menjadi Ketua Umum Pengurus Besar As‘adiyah yang menangani al-Madrasah al-As‘adiyah sampai sekitar bulan Oktober 2012.
Tentu saja, kekhususan AGH Muhammad As’ad dalah shalat sebagaimana disebut di atas merupakan teladan dari seorang ulama besar, pewaris ajaran Nabi s.a.w., yang sedapat mungkin perlu kita tiru. Menurut ‘Abdullah ibn ‘Abbās kata khusyu’ yang berarti “gemetar” adalah dalam bahasa kabilah Tamīm.
Terus terang, saya sendiri tidak dapat releks dan santai dalam melakukan ibadah shalat menghadap Tuhan, apalagi menjadi imam dalam shalat berjemaah. Kalau di luar shalat, tatkala membaca doa, misalnya, saya dapat melakukannya dengan tenang. Apabila menghadap duta besar di kantornya, setelah mengisi buku tamu dan diantar kekamar duta besar tersebut, saya tidak dapat releks, tetapi kalau bertemu dengan beliau diluar kantor sekaligus bukan jam kantor, santai saja, karena pertemuan itu tidak resmi. Apalagi menghadap Allah diwaktu shalat. Kesimpulannya: menghadap Allah dalam shalat, perasaan takut dan kuatir itu ada, bukan seperti menghadapi sahabat kental di mana kita dapat releks dan santai - tapi hati-hati juga, jangan sampai salah ngomong dan melukai perasaannya. Suatu lolucon bahasa Arab yang isinya mengagumi seseorang, setelah saya terjemahkan kedalam bahasa Indonesia, ternyata dianggap menghina.
Perlu saya sampaikan di sini suatu kejadian luar biasa seputar shalat. Pada malam kedelapan bulan Ramadhan (tahunnya tidak disebutkan), Perdana Menteri Palestina, Isma‘il Haniyyah, menjadi imam dalam shalat tarawih di Mesjid bagian Barat di perkemahan pantai di bagian barat kota Ghaza. Kala itu, kota Ghaza sudah setahun lebih diblokade Israel. Dalam shalatnya, beliau membaca surah al-A‘rāf (7), lalu sampai pada ayat 128 dan 129, yang bunyinya sebb.:
قَالَ مُوسَى لِقَوْمِهِ اسْتَعِينُوا بِاللَّهِ وَاصْبِرُوا إِنَّ الْأَرْضَ لِلَّهِ يُورِثُهَا مَنْ يَشَاءُ
مِنْ عِبَادِهِ وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ. قَالُوا أُوذِينَا مِنْ قَبْلِ أَنْ تَأْتِيَنَا وَمِنْ بَعْدِ مَا جِئْتَنَا قَالَ عَسَى
رَبُّكُمْ أَنْ يُهْلِكَ عَدُوَّكُمْ وَيَسْتَخْلِفَكُمْ فِي الْأَرْضِ فَيَنْظُرَ كَيْفَ تَعْمَلُونَ
(الأعراف, ١٢٨-١٢٩)
Musa berkata kepada kaumnya: “Mohonlah pertolongan
kepada Allah dan bersabarlah, sesungguhnya bumi (ini) kepunyaan
Allah; dipusakakan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya dari hamba-
hamba-Nya. Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang
bertakwa.” Kaum Musa berkata: “Kami telah ditindas (oleh Fir’aun)
sebelum kamu datang kepada kami dan sesudah kamu datang.”
Musa menjawab: “Mudah-mudahan Allah membinasakan
musuhmu dan menjadikan kamu khalifah di bumi-(Nya),
maka Allah akan melihat bagaimana perbuataanmu.”
(Q. 7: 128-129).
Saat itulah, sang Perdana Menteri menangis, diikuti para makmum. Bacaan al-Qur’ān itu menceritakan kaum Musa yang ditindas oleh Fir‘aun. Dan justru kini, ironisnya, kaum Nabi Musa itulah yang menindas orang Islam di Ghaza dengan memblokade kota itu.
Lantas bagaimana dengan shalat yang dikatakan oleh Nabi adalah tempat beliau beristirahat? Maksudnya, dengan konsentrasi mengabdi kepada Allah dalam shalat, beliau beristirahat dari dan melupakan masalah-masalah yang dihadapi di luar shalat. Ini berarti, beliau tidak membawa-bawa masalah di luar shalat pada waktu shalat, apalagi menunggu solusi masalah tersebut dari Allah pada waktu duduk iftirasy.
Nah, pada konteks inilah Abu Sangkan, penulis Pelatihan Shalat Khusyu', mengajarkan kepada kita bahwa shalat mirip dengan yoga, untuk mencari ketenangan dan kedamaian.
14. Apakah Yoga itu?
Apakah Yoga itu? Yoga berasal dari bahasa Sanskerta yang kata kerjanya adalah yuj, yang artinya “mengontrol” (to control), “memasang kuk (to yoke)”, dan “menyatukan” (to unite). Dikatakan bahwa yoga mempunyai 38 arti, antara lain, “penggabungan” (joining), “penyatuan”, “kesatuan” (uniting, union), dan “cara” (mode, manner, means).Yoga berkenaan dengan disiplin mental dan fisik yang berasal dari India. Orang yang mempraktekkan yoga dinamakan yogi. (Yogi perempuan dinamakan yogini).
Menurut The New Hutchinson 20th Century Encyclopedia (1980),
Yoga (Sanskrit, union). A system of Hindu philosophy,
characterized by belief in personal deity with whom it is possible
to attain mystical and ecstatic union by the practice of hypnosis and
complicated and prolonged system of mortification of the senses, e.g.,
by abstract meditation, induced apathy, rigidity of posture, ascetic
practices, concentration of mind on one particular point, etc….
Yoga (bah. Sanskerta, penyatuan): Suatu system filsafat Hindu,
yang cirinya adalah kepercayaan kepada dewa peribadi yang
dengannya dapat dicapai penyatuan secara mistik dan estatik
melalui praktek hipnotis dan sistem yang rumit dan panjang
dalam membunuh perasaan, misalnya dengan meditasi
yang abstrak, kelesuan yang dirangsang, postur (sikap
badan) yang kaku, praktek asetik (pertapa), konsentrasi
pikiran pada suatu point (titik), dan sterusnya...
The Hutchinson Softback Encyclopedia (1991), menerangkan yoga lebih mendetail, sebagai berikut:
Yoga (Sanskrit, union) Hindu philosophic system attributed to Patanjali,
who lived about 150 BC at Gonda, Uttar Pradesh, India. He preached mystical union with a personal deity by the practice of self-hypnosis and a rising above the senses by abstract meditation, adoption of special postures, and ascetic practices. As practised in the West, yoga is more a system
of induced relaxation and mental and physical exercises.
Yoga (bah. Sanskerta, penyatuan) adalah suatu system filsafat
Hindu yang dihubungkan dengan Patanjali, yang hidup kira-kira
pada tahun 150 sebelum Masehi di Gonda, Uttar Pradesh, India. Ia
mengajarkan penyatuan secara mistik dengan seorang dewa pribadi
dengan praktek menghipnotis diri (self-hypnotis) dan mengangkat diri
di atas perasaan dengan cara meditasi yang abstrak, melakukan sikap
badan yang tertentu, dan praktek-prtaktek pertapa. Seperti yang dipraktekkan di dunia Barat, yoga lebih (mengarah kepada)
suatu system relaksasi yang dirangsang dan
latihan-latihan mental dan fisik.
Patanjali dikatakan memberi definisi tentang yoga sebagai citta-vritti-nirodha, “suppression of the fluctiations of the mind,” “penekanan dari fluktuasi (ketidak-tetapan) pikiran.” Ia dianggap sebagai pendiri filsafat yoga secara formal. Yoga yang menjadi ajarannya adalah Raja Yoga, salah satu cabang dari yoga, yaitu suatu sistem mental untuk mengontrol pikiran. Cabang yoga yang lain adalah Dharma Yoga (yoga amalan, berbuat baik tanpa mengharapkan imbalan), Jnana Yoga, (yoga pengetahuan), Bhakti Yoga (yoga ibadah, penyembahan terhadap dewa perseorangan), dan Hatha Yoga (yoga pembersihan pikiran, dan pembersihan energi yang vital, “yoga of purification of mind, i.e., ha, and of prana - the masculine vital energi, - i.e., tha¬”). Karena istilah hatha yoga ini lebih bersifat jalan spiritual, maka diperdebatkan apakah yoga ini masih bersifat latihan badan (exercise). Tetapi di Barat, yoga ini terkenal sebagai suatu aturan hidup latihan jasmani semata-mata, dan telah memisahkan diri dari tujuan asalnya.
Orang Hindu percaya bahwa salah satu jalan untuk mendekatkan diri ke Moksha dan membersihkan diri dari dosa adalah mandi di Sungai Ganga yang suci dan meminum airnya. Adapun jalan kecil yang dapat ditempuh oleh orang Hindu untuk mencapai Moksha (surga) ada empat, yaitu:
1. The Path of Love/Devotion, yaitu cinta dan pengabdian dengan memilih dewa atau dewi tertentu, lalu mempersembahkan hidup untuk menyembahnya; dewa atau dewi yang disembah inilah sesuatu yang paling penting baginya.
2. The Path of Knowledge, yaitu pengetahuan dengan mempelajari agama Hindu dengan saksama dari seorang guru sebagai penunjuk jalan.
3. The Path of Right Action/Doing Your Best, yaitu perbuatan yang benar (amal saleh), melakukan kewajiban (dharma) dengan sebaik-baiknya tanpa mengharapkan imbalan. Banyak orang Hindu menganggap bahwa jalan inilah yang paling baik untuk orang biasa.
4. The Path of Yoga/Meditation, yaitu Anda memusatkan pikiran sekuat-kuatnya, sehingga Anda melupakan segala sesuatu di sekeliling Anda. Jalan ini hanya dapat dilakukan apabila pikiran Anda bebas dari pekerjaan, rumah, atau keluarga dan lain-lain yang dapat Anda kuatirkan.
Dalam agama Islam dikatakan bahwa orang yang mendekatkan diri kepada Allah, Allah juga lebih mendekatkan diri kepadanya, seperti dalam hadits sebagai berikut:
حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ حَدَّثَنَا
ابْنُ نُمَيْر ٍ وَأَبُو مُعَاوِيَةَ عَنْ الْأَعْمَشِ
عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ
أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي وَأَنَا مَعَهُ حِينَ يَذْكُرُنِي فَإِنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ
ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي وَإِنْ ذَكَرَنِي فِي مَلَإٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلَإٍ خَيْرٍ مِنْهُمْ
وَإِنْ اقْتَرَبَ إِلَيَّ شِبْرًا اقْتَرَبْتُ مِنْهُ ذِرَاعًا وَإِنْ اقْتَرَبَ
إِلَيَّ ذِرَاعًا اقْتَرَبْتُ إِلَيْهِ بَاعًا وَإِنْ أَتَانِي
يَمْشِي أَتَيْتُهُ هَرْوَلَةً
(سُنَنُ التِّرْمِذِي, ج۱۲ ص۳۳)
... dari Abu Hurayrah
Rasulullah s.a.w. bersabda:
“Allah Azza wa Jalla berfirman:
‘Aku menurut persangkaan hamba-Ku,
dan Aku bersamanya ketika ia ingat kepada-Ku
(menyebut nama-Ku); kalau ia ingat kepada-Ku (menyebut
nama-Ku) pada dirinya sendiri, maka Aku ingat kepadanya
(menyebut namanya) pada diri-Ku, kalau ia ingat kepada-Ku
(menyebut nama-Ku) pada khalayak ramai, maka Aku
ingat kpadanya (menyebut namanya) pada khalayak
ramai yang lebih baik; apabila ia mendekat kepada-
Ku sejengkal, maka Aku mendekat kepadanya se-
hasta, apabila ia mendekat kepada-Ku sehasta,
maka Aku mendekat kepadanya sedepa,
dan apabila ia datang kepada-Ku
berjalan kaki, maka Aku datang
kepadanya berjalan cepat.’”
(HR al-Tirmidhi)
Ahli tafsir menafsirkan hadits qudsi ini bahwa barangsiapa mendekatkan diri kepada Allah dengan mematuhi perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, maka Ia cepat-cepat akan melimpahkan ampunan dan rahmat-Nya kepadanya. Sa‘īd ibn Jubayr (w. 714), salah seorang ahli fikih dari tabi‘īn (generasi sesudah sahabat), dalam menafsirkan ayat فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ (البقرة, ١٥٢) “Karena itu ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu…” (Q. 2:152) mengatakan bahwa maksud ayat tersebut adalah “Ingatlah kepada-Ku dengan mematuhi perintah-Ku, niscaya Aku ingat kepadamu dengan ampunan-Ku.”
Dalam agama Kristen disebutkan dalam Perjanjian Lama bahwa orang yang mencari Tuhan akan menemukan-Nya, sebagai berikut:
Dan baru di-sana
engkau mencari TUHAN,
Allahmu, dan menemukanNya,
asal engkau menanyakan Dia dengan
segenap hatimu dan dengan
segenap jiwamu.
(Ulangan 4:29)
Dalam Perjanjian Baru disebutkan,
Mintalah, maka
akan diberikan kepadamu;
carilah, maka kamu akan mendapat;
ketoklah, maka pintu akan
dibukakan bagimu.
(Matius 7:7)
Yoga diperkenalkan kepada masyarakat Amerika pada akhir abad ke 19 oleh Swami Vivekananda, pendiri Vedanta Society. Diperkirakan bahwa ada 30 juta orang Amerika dan 5 juta orang Eropa yang melakukan semacam hatha yoga, tetapi dinegeri asalnya di anak/bagian benua India (Indian subcontinent) masih dipraktekkan sesuai dengan tradisi asalnya. Yoga dikatakan menenangkan sistem saraf dan membuat keseimbangan antara badan (body), pikiran (mind) dan ruh (spirit). Pelaksana yoga menganggap, yoga menghalangi datangnya penyakit tertentu dengan membiarkan enerji pada titik yang paling tinggi terbuka dan enerji kehidupan (prana) mengalir. Yoga ini biasanya dilakukan sekali seminggu dalam waktu kira-kira 45 menit dalam suatu kelas. Yoga telah digunakan untuk menurunkan tekanan darah, mengurangi stres dan memperbaiki koordinasi, fleksibilitas, konsentrasi, tidur dan pencernaan. Menurut Gary Craftsow, penulis Yoga for Transformation, banyak posisi yoga yang tidak cocok untuk setiap orang. Loren Fishman, M.D., Assisten Professor klinik dari ilmu kedokteran Universitas Columbia di kota New York berkata:
Yoga is marketed as such an innocuous thing.
But without care, injuries can absolutely happen.
Yoga dipasarkan sebagai suatu hal yang tidak
berbahaya. Tetapi tanpa berhati-hati
cedera benar-benar dapat terjadi.
Akhir-akhir ini dilaporkan semakin banyak cedera terjadi sebagai akibat dari yoga. Karena itu orang harus berhati-hati.
Dengan kata lain, yoga pada asalnya adalah suatu usaha untuk menyatukan diri dengan dewa dalam agama Hindu. Caranya: menghipnotis diri dan menghilangkan perasaan dengan meditasi, sikap badan tertentu dan bertapa. Di Barat yang tidak beragama Hindu, usaha untuk menyatu dengan seorang dewa ditiadakan, dan yoga dijadikan sebagai suatu sistem relaksasi dan latihan mental serta fisik untuk mencapai ketenangan jiwa. Inilah yang dimaksud oleh Abu Sangkan dalam bukunya tersebut, yaitu orang Islam memperoleh relaksasi dengan shalat, sebagaimana orang Barat mendapat relaksasi dengan yoga.
Oleh karena kata “yoga” pada asalnya berarti “penyatuan dengan dewa”, dan mengandung elemen spiritual dari agama Hindu, pada tahun 2008 di Malaysia yang agama resminya Islam dan di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam, majlis ulamanya melarang praktek yoga tersebut untuk orang Islam. Pada hari Minggu, 25 Januari 2009, kira-kira 700 orang ulama bertemu di Padang Panjang mengeluarkan fatwa bahwa praktek yoga itu haram bagi orang Islam disebabkan oleh elemen agama Hindu pada yoga itu. Ulama di Mesir dan Singapura juga melarangnya dengan alasan yang serupa. Fatwa ini ditentang oleh mantan Perdana Menteri Malaysia Abdullah Badawi, yang menganggap bahwa fatwa itu keterlaluan; orang Islam dapat melakukan yoga asal tidak membaca mantera yang ada hubungnnya dengan ritual Hindu.
Demikian pula pendapat ulama di India, termasuk ulama dari Darul Ulum di Deoband. Mereka berpendapat bahwa tidak ada larangan bagi ummat Islam untuk melakukan yoga. Adapun nyanyian mantra seperti om yang mempunyai konotasi agama tidak perlu dalam yoga, dan orang Islam dapat menggantinya dengan membaca ayat-ayat Qur’ān atau hal-hal yang berhubungan dengan Allah. Maulana Abdul Khaliq Madrasi, utusan wakil Rektor Darul Ulum, menyampaikan kepada harian The Indian Express, sebagai berikut:
Yoga is a form of exercise. If some words,
which are supposed to be chanted while performing
it, have religious connotations, the Muslims need not
utter those. They can instead recite verses from
the Quran or praise Allah or remain silent.
Yoga adalah semacam latihan. Jika
beberapa kata yang seharusnya dinyanyikan
mempunyai konotasi agama, orang-orang Islam tidak
perlu mengucapkannya. Sebagai gantinya mereka
dapat membaca ayat-ayat dari al-Qur’ān
atau memuji Allah atau tinggal diam.
Senada dengan itu, di Indonesia, yoga yang banyak dilakukan adalah yoga therapy sebagai obat alternatif untuk bermacam-macam penyakit, mulai dari sakit kepala sampai kanker, seperti penyakit gula, kegemukan, tekanan darah tinggi, sakit punggung, depressi, asma, dan lain-lain.
Lalu, mengapa majelis ulama di Malaysia dan Indonesia mengeluarkan fatwa melarangnya untuk orang-orang Islam? Bukankan yoga bermanfaat untuk kesehatan sebagai suatu latihan jasmani dan rohani? Fatwa ini adalah suatu tindakan prefentif, agar supaya orang Islam tidak terjebak ke dalam ritual agama Hindu. Tidak semua yoga untuk semua orang. Ada sikap tubuh yang tidak mudah dipraktekkan, dan ada keyakinan yang tidak harus diyakini oleh orang Islam, misalnya adanya mantra, mungkin tidak diharuskan membacanya, tapi mungkin direkomendasikan, dan mungkin saja dikatakan asal dibaca, tidak perlu diketahui artinya, supaya yoga yang dipraktekkan itu sempurna, “satu paket” yang tidak boleh dipisahkan. Bagi orng yang tidak hati-hati dapat saja terjebak. Apa sih susahnya mengatakan om?
Dalam suatu hadits disebutkan:
حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ حَدَّثَنَا زَكَرِيَّاءُ عَنْ عَامِرٍ قَالَ سَمِعْتُ
النُّعْمَانَ بْنَ بَشِيرٍ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَقُولُ الْحَلَالُ بَيِّنٌ وَالْحَرَامُ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشَبَّهَاتٌ لَا يَعْلَمُهَا كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ
فَمَنْ اتَّقَى الْمُشَبَّهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ كَرَاعٍ
يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى يُوشِكُ أَنْ يُوَاقِعَهُ أَلَا وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى أَلَا إِنَّ حِمَى
اللَّهِ فِي أَرْضِهِ مَحَارِمُهُ أَلَا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ
الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ
(صَحِيْحُ الْبُخَارِي ج۱, ص۹۰؛ صَحِيْحُ مُسْلِم, ج٨ ص٢٩٠)
…dari ‘Āmir ia berkata: “Saya dengar
al-Nu‘mān bin Bashīr berkata: ‘Saya dengar
Rasulullah s.a.w. bersabda: “Halal itu jelas dan
haram itu jelas, dan di antaranya ada hal-hal yang
diragukan, tidak diketahui orang banyak. Barangsiapa
memelihara diri dari hal-hal yang diragukan itu maka ia telah
membebaskan dirinya (dari berbuat dosa) untuk agamanya dan
nama baiknya, dan barangsiapa yang jatuh pada syubhat (hal-hal
yang diragukan), maka (keadaannya) seperti seorang penggembala
yang menggembala di sekitar daerah terlarang, hampir-hampir ter-
pelosok ke dalamnya. Ketahuilah bahwa setiap raja mempunyai
daerah terlarang, dan ketahuilah daerah terlarang Allah di
bumi-Nya adalah larangan- larangan-Nya. Ketahuilah
bahwa sesungguhnya di dalam tubuh ada segumpal
daging, apabila ia sehat, maka seluruh tubuh
menjadi sehat,tapi apabila ia rusak,
maka seluruh tubuh menjadi rusak;
ketahuilah, itu adalah hati.”’”
(HR Bukhari dan Muslim)
Apakah yoga dan meditasi termasuk dalam hal yang diragukan ini? Ribuan tahun yang silam, tatkala yoga masih belum berkembang, praktek yang mula-mula dilakukan adalah meditasi, yaitu memusatkan pikiran. Dengan memusatkan pikiran orang-orang zaman dahulu dapat menemukan cara baru untuk mendapat inspirasi. Mereka menemukan bahwa dengan melakukan relaksasi sendiri secara sadar, dan mengalami kesadaran sendiri secara nyata serta dengan mendengarkan secara mental dalam hati tanpa memikirkan suasana sekarang sedapat mungkin, mereka dapat mengalami sifat yang lebih mendalam dari Kesadaran itu. Mereka menemukan bahwa cara yang paling langsung untuk mengalami secara langsung arti Tuhan dan Diri Sendiri adalah dengan meditasi. Sikap badan yang diketemukan kemudian adalah saluran untuk mencapai pikiran meditasi yang terarah.
Meditasi merupakan cara untuk menjalin secara sadar hubungan dan ikatan erat antara Anda dengan Pikiran yang tak Terbatas (Infinite Mind). Hasilnya, hubungan non-verbal dengannya dalam bentuk ilham secara spontan sesuai dengan keadaan di mana Anda menemukan diri sendiri. Yoga yang artinya “penyatuan” (union, joining), adalah usaha untuk menyatukan pikiran Anda yang spesifik dengan Pikiran yang tak Terbatas dengan mendengarkan untuk memperoleh petunjuk, sehingga Anda mengalami penyatuan Anda dengan Yang tak Terbatas itu. Dengan demikian, Anda akan menyadari hanya satu Pikiran yang menyatakan dirinya sebagai Anda sendiri. Inilah meditasi dalam agama Hindu secara singkat. Adapun di negeri Barat meditasi telah banyak menolong orang-orang yang menderita bermacam-macam penyakit, seperti meredakan stress, tekanan darah tinggi dan suatu proses perbaikan spiritual.
Menurut Neville Drury, sudah menjadi kesalah-fahaman yang umum bahwa meditasi adalah semacam introversi yang passif, suatu bentuk pemusatan pikiran terhadap diri sendiri yang aman tetapi tidak memberi effek. Meditasi sebenarnya lain dari itu, karena sebagai suatu tehnik untuk mengontrol pikiran, ia mempunyai faedah yang positif terhadap kesehatan. Orang-orang yang mempraktekkan meditasi secara sistematik dan teratur percaya bahwa meditasi menambah ketenangan diri, meningkatkan efisiensi dalam bekerja serta mengurangi ketegangan mental dan emosi yang negatif. Dengan begitu, banyak penyakit yang berhubungan dengan stress dapat dihilangkan atau dikurangi melalui meditasi, termasuk pening kepala, tekanan darah tinggi dan kejang waktu menstruasi.
Namun, sangat mungkin bahwa yoga dan meditasi termasuk dalam kategori syubhat (diragukan), mengingat adanya elemen-elemen agama Hindu itu. Ada suatu kaedah fikih yang mengatakan,
دَرْءُ ْالََََمَفاسِدِ ُمَقَََدَّمٌَ عَلَىَ جَلْبِ ْالمَصَالِح
Menghindari kemudharatan lebih diutamakan
dari pada menarik kemaslahatan.
Kita mengejar manfaat dari yoga, tetapi kita juga berusaha untuk menghindari segi negatifnya seperti membaca mantranya atau melakukan sikap badan yang mungkin membahayakan, semisal jungkir-balik. Apabila terasa ada keraguan, lebih baik ditinggalkan, karena ada lagi kaedah usul fikih yang mengatakan:
دَعْ مَا ُيِرْيُبكَ إلى مَا لا يُرِْْيبُكَ
Tinggalkanlah yang meragukanmu
kepada yang tidak meragukanmu.
Tujuan yang dicita-citakan oleh para yogi bermacam-macam dan bertingkat-tingkat, mulai dari memperoleh perbaikan kesehatan jasmani dan relaksasi. Bagi mereka yang tidak beragama Hindu, cita-cita mereka berhenti sampai di sini saja. Bagi mereka yang beragama Hindu dan bermazhab Advita Vedanta dan Shivaism (Syiwaisme), cita-cita mereka adalah untuk mancapai Moksha (Moksya, surganya orang Hindu) tempat manusia lepas dari penderitaan di dunia dan lingkaran (siklus) lahir dan mati yang disebut samsara. Kata samsara secara harfiyah berarti “a passage through a succession of states” (suatu jalan lintasan melalui rangkaian keadaan). Pada tahap ini identitas dengan “Brahmana yang Maha Agung” direalisasikan. Dalam kitab Mahabharata disebutkan, tujuan yoga adalah untuk memasuki alam Brahman atau Atman (Tuhan Yang Satu) yang meliputi segala sesuatu. Bagi penganut madzhab bhakti Vishnuisme (Wisynuisme), cit-cita mereka adalah untuk menikmati hubungan yang kekal dengan Vishnu (Wisynu), yaitu dewa yang memelihara alam.
Agama Islam tidak mengenal lingkaran lahir dan mati (samsara), juga tidak mengenal reinkarnasi yang terdapat dalam agama Hindu dan Buddha, yaitu perpindahan roh orang mati kepada tubuh lain, tergantung keadaannya pada waktu hidup di dunia; orang jahat, misalnya, dapat lahir kembali sebagai binatang. Sebagai contoh, ada suatu cerita bahwa ada seorang janda bermimpi berbicara dengan suaminya dan menanyakan keadaannya. Si suami menjawab:
“Pemandangan indah sekali!”
“Tentu enak tinggal di surga,” kata janda itu.
“Siapa bilang saya di surga?” kata sang suami, “saya adalah seekor sapi jantan di padang rumput Montana.”
Orang yang meninggal dunia menurut agama Islam tidak akan kembali lagi ke dunia ini, tetapi ruhnya tinggal di alam kubur yang disebut alam barzakh, sambil menunggu datangnya Hari Kiamat. Karena itu, tidak ada second chance kembali ke dunia untuk berbuat baik bagi orang yang sudah meninggal. Allah berfirman:
حَتَّى إِذَا جَاءَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ رَبِّ ارْجِعُونِ ,
لَعَلِّي أَعْمَلُ صَالِحًا فِيمَا تَرَكْتُ كَلا إِنَّهَا كَلِمَةٌ هُوَ
قَائِلُهَا وَمِنْ وَرَائِهِمْ بَرْزَخٌ إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ
(المؤمنون , ٩٩-١٠٠)
(Demikianlah keadaan
orang-orangkafir itu), hingga apabila
datang kematian kepada seseorang dari
mereka, dia berkata: “Ya Tuhanku kembalikanlah
aku (kedunia), agar aku berbuat amal yang saleh
terhadap yang telah aku tinggalkan.” Sekali-kali
tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan
yang diucapkannya saja. Dan dihadapan
mereka ada dinding sampai hari
mereka dibangkitkan.
(Q. 23:99-100)
Orang kafir diwaktu menghadapi sakratul maut meminta kepada Allah untuk ditunda kematiannya dan diperpanjang umurnya agar ia dapat beriman dan berbuat baik di dunia, tetapi Allah menolak permintaannya. Ia sekarang menghadapi kehidupan yang baru di alam kubur yang membatasi antara dunia dan akhirat. Ini keadaan orang kafir yang menghadapi maut, permintaannya untuk kembali ke dunia ditolak, apalagi kalau sudah pindah ke alam kubur, alam barzakh (lit. “dinding, pemisah”, bahasa Ingggris “barrier, partition, dividing space”) yang memisahkan antara alam dunia dan alam akhirat. Ini adalah salah-satu perbedaan yang menyolok antara agama Islam dan agama Hindu, di mana dalam agama Hindu ada kesempatan untuk kembali ke dunia guna memperbaiki kesalahan, sekalipun menderita dan sengsara dalam samsara. Jika agama Hindu yang benar, kita masih diberi kesempatan kembali ke dunia untuk menjadi orang baik. Sementara jika agama Islam yang benar, tidak ada lagi kesempatan itu, dan tinggal penyesalan di akhirat kelak. Risiko tidak beriman atau meninggalkan agama Islam jauh lebih berat.
Kalau dikatakan ayat Qur‘ān di atas berkenaan dengan permintaan orang kafir untuk penundaan kematian - bukan permintaan untuk hidup kembali ke dunia sesudah mati - maka hadits di bawah ini mengenai orang yang beriman yang sudah mati:
أَْخْبَرَناَ أَبُو بَكْرِ الْحَارِثِيْ،
حَدَّثَنَا أَبُو الشَّيْخِ اْلحَافِظِ قاَلَ: أَخْبَرَنَا أَحْمَدُ بْنُ
اْلحُسَيْنِ الْحَذَّاَِء، قاَلَ عَلِيُّ ْبنُ اْلمَدِيْنِي قَالَ: حَدَّثَنَا مُوْسَى بْنُ
إِبْرَاهِيْمَ بْنِ بَشِيْرِ بْنِ اْلفَاكِهِ اْلأَنْصَارِي، أَنَّهُ سَمِعَ طَلْحَةَ بْنَ حَرَّاٍش
قَالَ: سَمِعْتًُ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللهِ قاَلَ: نَظَرَ إِلَيَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَقاَلَ: مَالَي أَرَاكَ مهْتَمّاً؟ قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ قٌتِلَ أَبِيْ وَترَكَ دَيْناً وَعِيَالاً، فَقَالَ:
أَلاَ أُخْبِرُكَ؟ مَا كَلَّمَ اللهُ أَحَداً قَطٌّ إلاّ مِنْ وَرَاءِ حِجاَبٍ، وَإِنَّهُ كَلَّمَ أَبَاكَ كِفَاحاً،
فَقَالَ: يَا عَبْدَِيْ سَلْنِيْ أُعْطِكَ، قَالَ: أَسْأَلُكَ أَنْ تُرِدَّنِي إِلىَ الدُّنْيَا فَأُقْتَلُ فِيْكَ
ثَانِيَةً، فَقَالَ: إِنَّهُ قَدْ سَبَقَ مِنِّيْ أَنهَّمُ ْإِلَيْهَا لاَ يَرْجِعُوْنَ، قَالَ: يَا رَبِّ فَأَبْلِغْ
مَنْ وَرَائَي، فَأَنْزَلَ اللهُ تَعَالىَ (وَلا تَحسَبَنَّ الَّذينَ قُتِلوا في سَبيلِ
اللهِ أَمواتاً بَل أَحياءٌ) الآية. (أَسََْبابُ الُّنُزْول لِلْوَاحِدِي)
...T.alh.ah ibn H.arrāsh berkata:
“Saya dengar Jābir ibn ‘Abdullah berkata:
‘Pesuruh Allah s.a.w. melihat kepadaku dan berkata:
“Mengapa engkau tampak gelisah?” Saya berkata:
“O Pesuruh Allah, ayahku terbunuh dan meninggalkan utang
dan tanggungan keluarga”. Maka beliau berkata: “Maukah engkau
kuberitahu? Allah sama sekali tidak pernah berbicara kepada se-
seorang melainkan di belakang tirai, dan sesungguhnya Dia telah
berbicara kepada ayahmu secara langsung, dan berfirman:
‘O hambaku, mintalah Kuberi,’ maka ia berkata: ‘Kuminta
agar saya dikembalikan ke dunia agar saya gugur lagi
untuk-Mu,’ maka Allah berfirman, ‘Telah Kuputuskan
bahwa mereka (orang yang sudah mati) tidak akan
kembali (ke dunia).’ Ia berkata: ‘O Tuhanku, beri-
tahukanlah (keadaanku) kepada orang-orang
yang kutinggalkan’, maka turunlah ayat:
“(وَلا تَحسَبَنَّ الَّذينَ قُتِلوا في سَبيلِ اللهِ أَمواتاً بَل أَحياءٌ)
Ayat tersebut lengkapnya sebagai berikut:
وَلَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا
فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ .
فَرِحِينَ بِمَا آَتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَيَسْتَبْشِرُونَ بِالَّذِينَ لَمْ يَلْحَقُوا بِهِمْ
مِنْ خَلْفِهِمْ أَلَّا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ . يَسْتَبْشِرُونَ
بِنِعْمَةٍ مِنَ اللَّهِ وَفَضْلٍ وَأَنَّ اللَّهَ
لَا يُضِيعُ أَجْرَ الْمُؤْمِنِينَ .
(آل عمران ،١٦٩-١٧١)
Janganlah kamu mengira
bahwa orang-orang yang gugur di jalan
Allah itu mati: bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya
dengan mendapat rezki, mereka dalam keadaan gembira disebabkan
karunia Allah yang diberikan-Nya kepada mereka, dan mereka bergirang
hati terhadap orang-orang yang masih tinggal di belakang yang belum
menyusul mereka, bahwa tidak ada kekhawatiran terhadap mereka
dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Mereka bergirang hati
dengan ni’mat dan karunia yang besar dari Allah, dan
bahwa Allah tidak menyia-nyiakan pahala
orang-orang yang beriman.
(Q. 3:169-171)
Ayat di atas menunjukkan pahala orang yang mati syahid dalam membela agama Islam, mereka menikmati hidup dalam alam barzakh. Pada ayat lain disebutkan penyesalan orang-orang kafir di akhirat dan dengan sia-sia meminta kepada Allah untuk dikembalikan ke dunia untuk beramal baik, sebagai berikut:
وَلَوْ تَرَى إِذِ الْمُجْرِمُونَ
نَاكِسُوا رُءُوسِهِمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ رَبَّنَا أَبْصَرْنَا وَسَمِعْنَا فَارْجِعْنَا
نَعْمَلْ صَالِحًا إِنَّا مُوقِنُونَ
(السجدة, ١٢)
Dan (alangkah ngerinya),
jika sekiranya kamu melihat ketika
orang-orang yang berdosa itu menundukkan
kepalanya di hadapan Tuhannya, (maka mereka
berkata): “Ya Tuhan kami, kami telah melihat
dan mendengar, maka kembalikanlah kami
(ke dunia), kami akan mengerjakan amal
saleh, sesungguhnya kami adalah
orang-orang yang yakin.”
(Q. 32:12)
Jika kita bandingkan antara shalatnya orang Islam dengan yoganya orang Hindu, ternyata ada persamaan. Kalau dalam yoga dapat dicapai relaksasi dan kesehatan yang terpelihara, shalat adalah salah satu cara untuk mengingat Allah yang disebut dhikrullah yang dapat menimbulkan ketenangan jiwa, dan tidak terombang-ambing oleh gelombang kehidupan. Orang Islam yang ta’at dalam ibadahnya, termasuk shalat akan dijanjikan kepadanya surga dan bertemu dengan Allah. Drury mengatakan, dalam menghadapi hidup secara meditatif tidak terbatas kepada suatu aliran kepercayaan atau agama tertentu, karena secara historis, meditasi dalam bentuk yang berbeda-beda terdapat dalam agama Hindu, Buddha, Kristen dan praktek orang-orang Sufi.
Mengenai faedah shalat dari segi kesehatan, seorang ahli kedokteran Timur dan akupunktur bernama Prof. Dr H.M. Hembing Wijayakusuma dalam bukunya, Hikmah Shalat untuk Pengobatan dan Kesehatan, menyebutkan 12 daerah akupuntur pada telapak tangan, 24 pada muka, 8 pada lengan, 24 pada kepala dan 13 pada kaki, semuanya tersentuh dan terpijit ketika kita membasuh daerah ini dengan air saat kita berwudu’ dan saat mengerjakan shalat. Disebutkannya pendapat Prof. Der Vanschereben bahwa gerakan shalat dalam agama Islam adalah suatu jalan untuk menjadi sehat. Juga pendapat Prof. Dr. Kohlrausch dan Prof. Dr. Leube yang mengatakan bahwa gerakan dalam shalatnya orang Islam dapat mengurangi dan menghalangi terjadinya penyakit jantung. Dikatakannya bahwa duduk tasyahhud dapat menyembuhkan penyakit tanpa operasi.
Setiap gerakan shalat mempunyai pengaruh pada bagian-bagian tubuh, misalnya terhadap kaki, otak, lambung rongga dada, leher, pangkal paha dan lain-lain. Berdiri, ruku’, sujud, duduk tasyahhud, sangat bermanfaat untuk kesehatan, bahkan gerakan salam akhir, yaitu menoleh ke kanan dan ke kiri bermanfaat besar membantu menguatkan otot-otot leher dan kepala. Pada waktu berdiri “seluruh saraf menjadi satu titik pusat pda otak, jantung, paru-paru, pinggang, dan tulang punggung lurus dan bekerja secara normal, kedua kaki yang tegak lurus pada posisi akupuntur...” Waktu ruku’ saraf-saraf di otak, punggung dan lain-lain tertarik dan terkendurkan, sangat baik untuk menghindari penyakit yang menyerang ruas tulang belakang. Waktu sujud dengan meletakkan tangan di depan lutut, otot-otot berkontraksi, pembuluh darah dan urat-urat getah bening menjadi terpijat dan terurut, dinding-dinding pembuluh darah terhindar dari mengerut. Waktu duduk tasyahhud pusat-pusat daerah otak ruas tulang punggung yang paling atas, otot-otot bahu, mata dan lain-lain yang ada pada ujung kaki terpijat.
Adapun manfaat shalat Tahajjud, Mohammad Sholeh, seorang dosen IAIN Surabaya membuat penelitian dengan disertasinya yang berjudul “Pengaruh Sholat Tahajjud terhadap Peningkatan Perubahan Response Ketahanan Tubuh Imonologik: Suatu Pendekatan Psiko-neuroimunologi” Dengan disertasi tersebut, ia berhasil meraih gelar doktor dalam bidang ilmu kedokteran pada program Pasca Sarjana Universitas Surabaya pada tahun 2007. Dikatakannya bahwa apabila kita melakukan shalat Tahajjud secara rutin, tepat gerakannya, khusu', dan ikhlas, niscaya akan terbebas dari infeksi dan kanker.
Di antara keistimewaan shalatnya orang Islam, adalah sebb.
a. Sikap badan dan gerakannya tidak ada yang berbahaya, dan dapat dilakukan oleh setiap orang yang sehat. (Bagi orang yang sakit, cukup bergerak dengan isyarat dan bacaan di dalam hati. Bagi perempuan yang datang bulan, ditunggu sampai bersih dari haid).
b. Shalat adalah suatu ibadah, kepatuhan kepada Allah, dan yang melakukannya mendapat pahala.
c. Shalat dapat dilakukan setiap waktu dan tempat yang bersih, kecuali waktu matahari sedang terbit, sedang berada di zenith (puncak yang tertinggi dicakrawala), dan waktu sedang terbenam. Shalat ini adalah shalat mutlak, tidak terikat oleh shalat lima waktu. Jumlah raka’atnya sedikitnya satu raka’at sampai tidak terbatas. Apabila waktu mulai masuk shalat tidak diniatkan berapa raka’atnya, maka sewaktu-waktu shalat itu dapat dihentikan. Shalat-shalat yang lain di antaranya adalah Shalat Malam, Shalat Duha, Shalat Hajat, Shalat Tobat, Shalat Tasbih, dan Shalat Gerhana.
Apabila suatu waktu, dan ini tidak mustahil, shalat ini terasa sangat bermanfaat, seperti yoga dengan diketemukannya faedah-faedah shalat, sehingga menjadi populer dinegeri Timur dan Barat, misalnya, kemudian mereka mempraktekkan gerakannya. Sebagai ganti membaca Fatihah, orang Buddha membaca “Om mani padme hum” atau orang Hindu membaca “Om Sakti Sakti Om”, atau orang Kristen membaca “Our father who art in Heaven”, lalu meditasi dalam yoga diganti dengan tadabbur atau murāqabahnya orang sufi, lantas bagaimana kira-kira pendapat para “ulama” agama Hindu, apakah mereka membolehkan penganut agama Hindu melakukannya? Om dalam agama Hindu adalah seruan yang menunjukkan nama dari Yang Maha Kuasa, diucapkan pada upacara khidmat dalam berdoa kepada dewa Brahma. Om (oum) diucapkan pada waktu memulai sembahyang, dan di bubuhkan pada permulaan dan pada akhir buku. Dalam bahasa Sanskerta, ia terdiri dari tiga suku-kata (mungkin maksudnya tiga bunyi suara, yaitu A, U dan M) yang menggambarkan Trimurti atau Trinitas dewa-dewa [Brahma, Wisynu dan Syiwa (Siwa)]. Adapun kata Sakti atau Syakti adalah enerji betina dari dewa Hindu Syiwa, yang disembah dalam berbagai bentuknya. Ia adalah Devi (yang artinya dalam bahasa Sanskerta adalah “dewi”) Syakti, isteri dewa Syiwa.
Agama Hindu memperbolehkan penganutnya menyembah bermacam-macam dewa dengan bermacam-macam cara. Yang penting adalah menyembah Tuhan dengan cara sendiri-sendiri yang dianggapnya benar. Bagi mereka, agama laksana sebuah gunung di mana banyak jalan yang dapat ditempuh untuk sampai di puncaknya. Ada yang sampai dengan mudah, ada pula yang sampai dengan susah payah, tergantung kepada kemampuan perseorangan. Yang penting sampai di puncaknya, tanpa memperdulikan bagaimana caranya untuk sampai di sana. Adapun menurut agama Islam, jalan satu-satunya untuk sampai di puncak gunung itu adalah jalannya agama Islam. Jalan yang lain, seperti jalan Nabi Isa a.s., (yang berlaku sampai datangnya Nabi Muhammad s.a.w.), jalan Nabi Musa a.s (yang berlaku sampai datangnya Nabi Isa a.s.)., dan para nabi sebelumnya, sudah tidak berlaku lagi. Allah berfirman:
هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ
لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ
(التوبة, ٣٣; الصف, ٩)
Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya
(dengan membawa) petunjuk (al-Qur’an) dan
agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas
segala agama, walaupun orang-orang
musyrik tidak menyukai.
(Q. 9:33; 61:9)
هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ
كُلِّهِ وَكَفَى بِاللَّهِ شَهِيدًا (الفتح, ٢٨)
Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan
Membawa Petunjuk dan agama yang hak agar
dimenangkan-Nya terhadap semua agama.
Dan cukuplah Allah sebagai saksi.
(Q. 48:28)
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ (آل عمران, ۱۹)
Sesusngguhnya agama (yang diridhai)
di sisi Allah hanyalah Islam.
(Q. 3:19)
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ
فِي الْآَخِرَة ِ مِنَ الْخَاسِرِينَ (آل عمران, ٨٥)
Barangsiapa mencari
agama selain agama Islam,
maka sekali-kali tidaklah akan diterima
(agama itu) dari padanya, dan dia
di akhirat termasuk orang-
orang yang rugi. (Q. 3:85)
Menurut Mujāhid dan al-Suddī (w. 127 H./745 M), ayat ini turun berkenaan dengan al-H.ārith bin Suwayd yang menjadi murtad bersama dengan 12 orang lainnya dan bergabung dengan orang-orang kafir di Mekkah. Setelah ayat ini turun, saudaranya yang bernama al-H.alās ibn Suwayd al-Ans.ārī, mengirim berita kepada al-H.ārith agar bertobat. Ibn ‘Abbas yang juga meriwayatkan berita ini mengatakan bahwa setelah ayat ini turun al-H.ārith bertobat dan menjadi Muslim kembali. Karena itu, kata al-Zamakhsharī, tidak didapati suatu agama yang lain yang menyerupai Islam sebagai agama yang benar. (فَلَا يُوْجَدُ إِذاً دِيْنٌ آخَرُ يُمَاثِلُ دِيْنَ اْلِإسْلًامِ فِيْ كَوْنِهِ حقاً) .
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي
وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا (المائدة, ۳)
Pada hari ini telahKu-sempurnakan
untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan
kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai
Islam itu jadi agama bagimu… (Q. 5:3)
Menurut ayat-ayat di atas, jalan untuk mencapai ke “puncak gunung” tadi hanya satu, sedang yang lain sudah tidak dapat ditempuh lagi. Jadi, kalau ada saudara kita yang tidak seagama mengatakan, orang-orang Islam itu eksklusif, mau benar sendiri, mengaku agamanya sendiri yang benar, jangan salahkan mereka, salahkan agama mereka dan kitab suci mereka. Nabi Isa pun, menurut Injil, pernah mengatakan bahwa jalan untuk keselamatan hanya melalui beliau.
Jesus answered:
“I am the way, the truth, and the
life. None comes to the Father except
through me.”(John 14:6)
Kata Yesus kepadanya:
“Akulah jalan dan kebenaran dan hidup.
Tidak ada seorang pun yang datang kepada
Bapa, kalau tidak melalui aku.”
(Yohannes 14:6)
Dalam menghadapi orang-orang yang tidak seagama dengan kita, secara umum, adalah kurang bijaksana mengatakan kepada mereka, agama Islam itulah yang benar dan agama merekalah yang salah (sekalipun itulah yang diajarkan Islam), karena ini kemungkinan besar menyinggung perasaan mereka, lalu menganggap orang Islam dan agama Islam itu sok benar sendiri. Allah memberikan contoh dengan menggunakan indikasi dan kiasan, seperti yang bersebut di bawah ini:
قُلْ مَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ قُلِ اللَّهُ
وَإِنَّا أَوْ إِيَّاكُمْ لَعَلَى هُدًى أَوْ فِي ضَلَالٍ مُبِينٍ
(سبأ, ٢٤)
Katakanlah: Siapakah Yang memberi
rezeki kepadamu dari langit dan dari bumi?
“ Katakanlah: “Allah, dan sesungguhnya kami
atau kamu (orang-orang musyrik), pasti berada
dalam kebenaran atau dalam kesesatan
yang nyata. ” (Q. 34:24)
Dalam ayat ini, Allah menyuruh Nabi Muhammad s.a.w. untuk bertanya kepada orang-orang musyrik Mekkah, siapakah yang memberi mereka rezeki dari langit dan bumi dengan menurunkan hujan yang menyebabkan tanaman mereka tumbuh untuk makanan mereka dan ternak mereka...? Apabila mereka mengatakan mereka tidak tahu, lalu Nabi disuruh mengatakan kepada mereka bahwa Allah (yang memberi rezeki). Kemudian Nabi disuruh Allah berkata kepada mereka secara kiasan, “Sesungguhnya kami atau kalian dalam kebenaran atau dalam kesesatan yang nyata,” yang maksudnya, “Sesungguhnya kami yang dalam kebenaran atau kesesatan yang nyata, atau kalian dalam kebenaran atau kesesatan yang nyata, karena salah-satu di antara kita ada yang dalam kebenaran dan yang lain dalam kesesatan yang nyata.” ‘Ikrimah (w. 110 H /729 M) dan Ziyād ibn Ab Maryam mengatakan, arti ayat di atas adalah: “Sesungguhnya kami dalam kebenaran dan kalian dalam kesesatan yang nyata” seperti yang dimengerti dari kiasan ini, serupa berkata kepada seseorang yang berbohong, “Salah-satu di antara kita yang berbohong,” lebih halus ketimbang mengatakan secara langsung, “Anda bohong.” Al-Zamakhsharī memberi contoh yang hampir sama, yaitu, “Allah tahu siapa yang benar di antara kita, dan salah-satu di antara kita berbohong.”
Sebenarnya, jalan keselamatan adalah melalui para nabi yang diutus Allah pada zaman mereka masing-masing, dan merekalah yang harus diikuti sampai nabi berikutnya yang menggantikan mereka datang, kemungkinan menggantikan syari’at yang lama dengan yang baru bila dianggap tidak sesuai lagi dengan zamannya. Sesudah Nabi Muhammad s.a.w. datang, agama yang dibawa beliau itulah yang harus diikuti. Para nabi itulah penunjuk jalan untuk sampai ke “puncak gunung”, ke jalan yang benar yang diridhai Allah Swt.
Lantas, bagaimana kira-kira fatwa ulama kita tentang orang yang bukan Islam melakukan gerakan shalat seperti shalatnya orang Islam, tetapi mengganti bacaan didalamnya dengan bacaan sendiri menurut agama mereka? Apakah para ulama kita akan membuat fatwa seperti fatwa mereka terhadap yoga? Mungkin jawaban yang lebih bijaksana adalah seperti jawaban Buya Hamka saat ditanya, “Bagaimanakah caranya shalat di bulan?” Lalu beliau menjawab, “Pergilah ke bulan dulu baru saya berikan jawabannya.” Kita tunggu saja!
15. Ceramah Ustadh ‘Amr Khālid
tentang Khusyu‘ dalam Shalat
Sebagai keterangan tambahan untuk tulisan ini perlu rasanya disampaikan di sini sedikit ceramah dan ajaran seorang dā‘ī dan penceramah yang terkenal dari Mesir yaitu Ustadh ‘Amr Khālid tentang shalat dengan khusyu’ dan usaha untuk melakukannya, sekalipun banyak hal-hal yang tidak baru bagi sebagian orang. Berikut antara lain isi ceramah tersebut:
- (Pahala) shalat seorang hamba Allah hanyalah apa yang mereka sadari dalam melakukannya (مَاعَقَلَ مِنْهَا), kadang-kadang hanya sepersepuluhnya.
- Orang yang tidak kusyu’ dalam shalat, shalatnya terasa berat dilakukan. Allah berfirman, (البقرة, ٤٥) ...وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى الْخَاشِعِين. ...dan sesungguhnya yang demikian itu [yaitu shalat] sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk,...” (Q. 2:45)
- Nilai shalat: shalat adalah jalan utama untuk mengenal Allah. Tanpa shalat Anda tidak akan mengenal Allah, padahal mengenal Allah adalah rahasia wujud. Mengapa kita diciptakan Allah? Untuk mengenal dan mengabdi kepada-Nya. Allah berfirman, وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ (الذاريات,٥٦) “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (Q. 51:56).
- Kasihan Anda kalau hidup di dunia ini tanpa mengenal Allah. Cukuplah kemuliaan bagi Anda bahwa Anda mempunyai Rabb [Tuhan Yang ditaati, Memiliki dan Memelihara], dan cukuplah kebanggaan Anda bahwa Anda adalah hamba-Nya. Ibn Taymiyyah (w. 728 H/1328 M) pernah berkata: “Kasihan penduduk dunia, meninggalkan dunia tetapi tidak merasakan yang paling nikmat padanya.” Ketika ditanya, apakah yang paling nikmat di dunia, beliau menjawab, “Cinta Allah, (حُبُّ الله) ”
- Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari seorang sahabat disuruh mengulang shalatnya sampai tiga kali, karena shalatnya belum dianggap sah. Lalu beliau mengajarnya bahwa harus ada t.uma’nīnah pada waktu ruku’, berdiri dari ruku’, sujud, duduk sesudah sujud, dan waktu sujud berikutnya.
- Dalam hadits lain Nabi s.a.w. pernah mengatakan bahwa orang yang yang tidak menyempurnakan ruku’ dan sujudnya, adalah mencuri [mencuri waktu] dalam shalat.
- Ketika Nabi s.a.w. ditanya tentang orang yang mengalihkan perhatiannya dalam shalat, beliau menjawab, itu adalah pencurian yang dilakukan setan terhadap orang yang sedang melakukan shalat tersebut.
- Dalam suatu hadits disebutkan bahwa orang yang mengalihkan perhatiannya dalam shalat, seolah-olah Allah berkata kepadanya, “Apakah ada Tuhan selain Aku, apakah ada yang lebih baik daripada Aku, yang lebih pemurah daripada Aku?”
- Dalam hadits lain disebutkan bahwa Allah menghadapkan perhatian-Nya terhadap hamba-Nya yang sedang shalat, selama ia tidak memalingkan perhatiannya, dan apabila ia demikian, maka Allah juga berpaling daripadanya. [Ket. Disampaikan oleh Nabi s.a.w. bahwa ini adalah salah satu pesan Allah kepada Nabi Yahya a.s. untuk disampaikan kepada ummatnya Bani Isra’il].
- Dalam hadits lain disebutkan bahwa orang yang shalat tetapi tidak menyempurnakan ruku’ dan sujudnya, maka shalatnya dilipat seperti melipat pakaian compang-camping, lalu pakaian itu dilemparkan ke mukanya sembari berkata, “Semoga Allah melalaikanmu seperti engkau melalaikanku.”
- Ada orang yang shalat, tapi hanya dihitung (pahalanya) sepertiganya, atau seperempatnya, atau seperenamnya, atau seperdelapannya, atau sepersepuluhnya.
- Ketika Abū T.alh.ah sedang melakukan shalat dikebunnya, dilihatnya seekor burung yang akan keluar dari kebunnya, sehingga perhatiannya tertuju kesana sampai burung itu keluar. Pergilah beliau kepada Nabi s.a.w. dan berkata sambil menangis: “Karena saya memperhatikan burung itu dalam kebun sampai saya lupa sudah berapa (raka’at) saya shalat. O, Pesuruh Allah, kebun itu menjadi sedekah di jalan Allah.”
- Imam Abu Hamid al-Ghazali )w. 504 H/1111 M) pernah mengatakan bahwa ada orang yang sujud (dalam shalat) menganggap bahwa ia dengan sujud itu telah mendekatkan diri kepada Allah Yang Maha Tinggi. Demi Allah, kalau dosa dalam sujud ini disebarkan kepada penduduk negerinya, niscaya mereka semua akan binasa. Ketika ditanya sebabnya, beliau mengatakan, ketika bersujud hatinya sibuk dengan kemaksiatan, hawa nafsu dan cinta dunia.
- Ketika ayat yang melarang orang mendekati shalat ketika berada dalam keadaan mabuk (tidak sadar), sampai ia mengetahui apa yang dibacanya يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ (النساء, ٤٣) “Wahai orang yang beriman, janganlah kamu mendekati shalat sehingga kamu mengetahui apa yang kammu baca…” ternyata ada orang yang lebih parah dari pada mabuk.
- Allah menyuruh kita bukan hanya sekedar melakukan shalat, tapi mendirikan shalat, yaitu أقِيْمُوا الصََّلَاةَ (“dirikanlah shalat”), bukan dengan perintah صَلّوُا (“shalatlah”), karena tidak setiap orang yang shalat telah mendirikan shalat, yaitu menyempurnakan shalat (أتِمّوُا الصَّلَاةَ). Orang yang sekedar shalat saja ((اَلْمُصَلُّوْنَ dicela Allah dengan firman-Nya فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ (الماعون, ٤-٥) “Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat (yaitu) orang-orang yang lalai dalam shalatnya” (Q. 107:4-5). [Ket. Ibn Qutaybah (w. 276 H/889 M) dalam menerangkan arti إِقَامَةُ الصَّلَاةِ (lit. “mendirikan shalat”) mengatakan إِدَامَتُهَا لِأَوْقَاتِهَا (“tetap melakukannya pada waktunya”); adapun al-Rāgib al-As.fahānī (w. ca. 425 H/1034 M) dalam menerangkan ayat يُقِيْمُوْنَ الصَّلاَةَ (المائدة, ٥٥) “mendirikan shalat” (Q. 5:55) mengatakan artinya adalah يُدِيْمُوْنَ فِعْلَهَا وَيُحَافِظُوْنَ عَلَيْهَا (“tetap melakukannya dan memeliharanya”)].
- Nabi menyuruh Bilal untuk adzan untuk shalat agar beliau beristirahat dengannnya, bukannya beristirahat dari padanya.
- Anas r.a. menceriterakan bahwa beliau suatu waktu masuk ke mesjid dan melihat sesuatu yang disangkanya sebatang pohon, ternyata Nabi s.a.w. sedang shalat, lalu berdirilah disamping beliau (sebagai ma’mum). Nabi membaca surah al-Baqarah, dan Anas mengharap agar beliau sujud (maksudnya ruku’) setelah membaca seratus ayat, ternyata beliau baca terus, dan Anas mengharap beliau ruku’ setelah selesai membaca surah al-Baqarah. Ternyata Nabi baca terus surah Al Imran, dan Anas mengharap beliau sujud setelah membaca seratus ayat, ternyata Nabi baca terus. Anas mengharap Nabi ruku’ setelah selesai membaca surah Al ‘Imran. Ternyata Nabi membaca surah al-Nisā’, dan mengharap Nabi ruku’ setelah membaca seratus, ayat. Ternyata Nabi baca terus sampai akhir surah, sehingga timbul pikirannya untuk meninggalkan Nabi shalat sendirian. Apabila Nabi membaca ayat yang berkaitan dengan surga, beliau memohon surga kepada Allah. Apabila beliau membaca ayat yang berkaitan dengan neraka, beliau diam lalu berdoa agar dijauhkan dari neraka. Kemudian Nabi ruku’ yang lamanya hampir seperti lama berdirinya, di mana beliau banyak berdoa, sedang lamanya berdiri beliau dari ruku’ hampir sama waktu ruku’. Lalu Nabi sujud di mana lamanya hampir sama lamanya saat beliau berdiri dari ruku’ di mana beliau memperbanyak doa.
[Ket. 1. Doa-doa yang Nabi s.a.w. baca waktu shalat, baik waktu ruku’, i‘tidal dan sujud dapat dilihat dalam buku-buku pedoman shalat; 2. Shalat Nabi yang panjang waktu shalat sendirian, tidaklah bertentangan dengan perintah beliau untuk memperpendek shalat waktu shalat berjama’ah; 3. Urutan bacaan Nabi, dari surah al-Baqarah, lalu surah Āl ‘Imrān, kemudian surah al-Nisā’ memberikan indikasi bahwa urutan surah yang ada dalam al-Qur’ān sekarang, sedikitnya ketiga surah yang tersebut di atas, adalah dari Nabi sendiri, bukan dari sahabat].
- Rabī‘ah ibn Ka‘b menceriterakan bahwa beliau melayani Nabi di waktu siang dan tidur di (dekat) pintu rumah beliau. Didengarnya Nabi mengucapkan berkali-kaliسُبْحَانَ رَبِّيْ (“maha suci Tuhanku”) sampai ia tertidur. Ketika bangun didengarnya Nabi masih mengucapkannya berulang-ulang. Pada suatu hari Nabi memanggilnya dan menyuruhnya meminta sesuatu kepada beliau. Ia minta ditunda untuk memikirkan apa yang akan dimintanya, sambil berkata kepada dirinya “Jangan sekali-kali engkau meminta sesuatu yang duniawi.” Maka berkatalah Rabī‘ah, “Wahai Pesuruh Allah, saya meminta agar saya menyertaimu di surga.” “Apakah ada lagi selain itu?” tanya Nabi. Rabī‘ah menjawab, “Tidak, demi Allah Yang mengutus engkau dengan kebenaran, saya tidak menghendaki selain dari itu.” Nabi berkata, “Usahakanlah untuk memperbanyak sujud.” [maksudnya shalat].
- Di antara orang-orang yang shalatnya khusyu’ adalah Sufyan al-Tsauri (Sufyān al-Thawrī, w. 161 H/778 M). Kalau Anda dapat melihatnya shalat sekarang, Anda akan mengira bahwa ia akan meninggal sekarang juga, karena amat khusyu’nya.
- Abdullah Ibn al-Zubayr ibn ‘Awwām (2-72 H/624-692 M), ketika diberitahu bahwa telapak kakinya yang kena kanker harus dipotong, menolak untuk diberi obat bius atau dipegang, tapi berpesan untuk melakukannya waktu ia sedang sujud dalam shalat.
- Aِl-Hasan ibn Ali (3-50 H/625-671 M) apabila mulai masuk shalat kelihatan sangat bersusah payah, merendahkan diri dan mukanya berubah (pucat). Ketika ditanya mengapa demikian, jawabnya karena beliau sedang menghadap Allah.
- Ali ibn Abi Talib (w. 40 H/661 M) ketika berwudu’ gemetar. Ketika ditanya, “O, Amirul Muminin, mengapa Anda gemetar?” beliau menjawab: “Sekarang saya sedang membawa amanah (yaitu tugas-tugas keagamaan) yang pernah ditawarkan Allah kepada langit, bumi dan gunung-gunung, tapi semua menolak, sedang saya mengambilnya. [Ayat yang dimaksud Ali r.a., adalah:
إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ
وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا
وَحَمَلَهَا الْإِنْسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا
(الأحزاب, ۷۲)
“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat
(tugas-tugas keagamaan) kepada langit, bumi dan gunung-
gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan
mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah
amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia
itu amat zalim dan amat bodoh.“
(Q. 33:72)]
- Ketika Hatim ditanya bagaimana cara untuk menjdi khusyu’ dalam shalat, jawab beliau: “Saya berdiri bertakbir sambil membayangkan Ka‘bah di hadapanku, titian pada telapak kakiku, surga di kananku, neraka di kiriku, Malakul Maut di belakangku, Nabi sedang memper-hatikan shalatku, dan saya mengira inilah shalatku yang terakhir, maka saya bertakbir dengan membesarkan Allah, membaca ayat-ayat al-Qur’ān sambil memikirkan artinya, ruku’ dengan segala kerendahan, sujud dengan khusyu’, membuat shalatku karena takut kepada Allah dan mengharap rahmat-Nya, lalu memberi salam. Kemudian saya bertanya-tanya kepada diriku sendiri, apakah shalatku ini diterima atau tidak.”
- Ketika ayat di bawah ini turun, yaitu:
أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آَمَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلَا يَكُونُوا
كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الْأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ
(الحديد, ١٦)
Belumkah datang waktunya bagi orang-orang
yang beriman untuk tunduk hati mereka mengingat
Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada
mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang
sebelumnya telah diturunkan al-Kitab kepadanya,
kemudian berlalulah masa yang panjang atas
mereka, lalu hati mereka menjadi keras.
Dan kebanyakan di antara mereka
adalah orang-orang yang fasik.
(Q. 57:16)
berkatalah Ibn Mas‘ūd: “Jarak waktu antara turunnya ayat ini dengan masuknya kami ke dalam agama Islam hanyalah empat tahun. Karena itu Allah mencela kami atas kurangnya kekhusyu’an kami, maka kami pada menangis atas celaan Tuhan kepada kami.”
- Cara untuk khusyu’ dalam shalat adalah mengosongkan dan membersihkan hati kita dari urusan dunia. Konsentrasi hanya kepada Allah dengan segala kerendahan dan kepatuhan di hadapan-Nya. Nabi waktu shalat yang dilihatnya (dengan mata hati) hanyalah Allah, karena itu shalat adalah kebahagiaannya.
- Cara yang kedua untuk menjadi khusyu’ dalam shalat adalah dengan mengerti gerakan-gerakan lahiriah dalam shalat, karena setiap gerakan lahiriah ada refleksinya dalam hati. Contohnya: wudhu adalah membersihkan jasmani dan rohani. Sebagaimana yang disampaikan oleh Nabi, apabila seorang hamba Allah berwudhu dan berkumur-kumur, maka keluarlah dosa-dosanya dari mulutnya; apabila ia membasuh mukanya dengan air, maka keluarlah dosa-dosanya dari tepi kedua matanya; apabila ia membasuh kedua tangannya, maka keluarlah dosa-dosanya dari tangannya, sampai keluar dari bawah kuku jari-jarinya; apabila ia membasuh kepalanya, maka keluarlah dosa-dosanya dari bawah kedua telinganya; dan apabila ia membasuh kedua kakinya, maka keluarlah dosa-dosanya dari kakinya, sampai di bawah kuku kakinya. (HR ibn Majah). Ini adalah pendahuluan untuk memasuki shalat dengan khusyu’. Jangan sampai hanya aurat yang lahir saja yang ditutup, sedangkan di dalam (hati) telanjang karena penuh dengn dosa dan maksiat. [Ket.: Dosa yang dimaksud di sini adalah dosa-dosa kecil. Adapun dosa besar seperti berjudi dan minum minuman keras hanya dapat diampuni Allah dengan bertobat].
- Ketika Anda menghadap kiblat, sedang hati Anda membelakanginya, itu adalah aib. Kemudian Anda berniat untuk mendirikan shalat dan bertakbir, “Allahu Akbar”, Allah Maha Besar, yang berarti tidak ada yang lebih besar dari pada Allah, lebih besar dari pada dunia dan segala isinya. Jika hati Anda masih memikirkan selain-Nya, maka Dia menyaksikan atas kebohongan hati Anda.
- Anda mengangkat tangan waktu bertakbir berarti Anda telah meninggalkan urusan dunia.
- Anda berdiri [tidak boleh duduk bagi yang sanggup berdiri] dihadapan Allah, mata diarahkan ke tempat sujud, jangan sampai pandangan itu diangkat. Dalam keadaan seperti inilah manusia menghadap Allah, seperti yang disebutkan dalam ayat يَوْمَ يَقُومُ النَّاسُ لِرَبِّ الْعَالَمِينَ (المطففين, ٦) “…(yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam.” (Q. 83:6)
- Tangan kanan diletakkan di atas tangan kiri menunjukkan adab yang paling tinggi terhadap Allah.
- Ingatlah bahwa Allah memperhatikan shalat kita. Kalau kita mengalihkan pandangan atau pikiran kita terhadap yang lain selain Allah, seolah-olah Allah berkata, “Apakah ada yang lain yang lebih baik dari pada Aku?”
- Dalam sebuah hadts qudsi, Allah berfirman bahwa apabila hamba-Nya yang sedang shalat itu membaca الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ “Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam,” maka Allah berfirman, “Hamba-Ku telah memuji-Ku.” Ketika ia membaca الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ “Maha Pemurah lagi Maha Penyayang,” maka Allah berfirman, “Hamba-Ku telah mengagungkan-Ku.” Ketika ia membacaمَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ “Yang menguasai hari pembalasan,” maka Allah berfirman, “Hamba-Ku telah memuji-Ku (أَثْنىَ عَلَيَّ عَبْدِي)” …
- Apakah dikala Anda memuji Allah dan Allah menyatakan bahwa Anda telah memuji-Nya, pikiran Anda kearah lain? Rasakanlah kebesaran Allah ketika Anda mengucapkan رَبِّ الْعَالَمِينَ“Tuhan semesta alam.” Rasakanlah rahmat Allah ketika Anda membaca الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ “Maha Pemurah lagi Maha Penyayang,”
- Sesudah imam membaca Fatihah ucapkanlah āmīn, karena menurut hadits, barangsiapa yang bacaan āmīnnya bersamaan dengan bacaan āmīn para malaikat, dosanya akan diampuni Allah.
- Kala membaca ayat-ayat al-Qur’an diwaktu shalat, ada tiga macam orang: (1) Orang yang menggerakkan lidahnya, tetapi hatinya lalai, tidak memperhatikan yang dibacanya, pikiriannya melayang-layang ke tempat lain. (2) Orang yang menggerakkan lidahnya, sedang hatinya mendengarkan bacaan itu, seolah-olah didengarnya dari bacaan orang lain. Mereka itu termasuk golongan yang disebut as.h.ābu ’l-yamīn [yaitu golongan kanan, yaitu penduduk surga, lihat Qur’an 56:27, 90 dan 91; 74:39]. (3) Orang yang hatinya lebih dahulu merasakan makna bacaannya, sedang lidahnya “menterjemahkan” perasaan itu dengan ucapannya.
- Saat ruku’ sadarilah bahwa kalau bukan karena Allah, Anda tidak akan membungkukkan punggung. Dan di waktu berdiri dari ruku’ pujilah Allah [Yang membuat punggung Anda sehat/selamat] dengan mengucapkan رَبَّناَ لَكَ الْحَمْدُ (“O Tuhan kami, puji-pujian untuk-Mu”).
- Ketika sujud, kita meletakkan kepala kita pada tanah yang dianggap paling rendah, tapi asal mula manusia. Waktu sujud itu tubuh kita yang berasal dari tanah kita kembalikan ke tanah. Ini menunjukkan kerendahan hati kita kepda Allah dan kepatuhan kepada-Nya. Bacalah subh.āna rabbiya’l-a‘lā (“mahasuci Allah, Tuhanku yang Maha Tinggi”) tiga kali agar supaya tertanam dalam hati bahwa Dialah yang Maha Tinggi. Pada waktu sujud itulah kita paling dekat dengan Allah seperti yang disebutkan dalam suatu hadits.
- Setelah bangkit dari sujud, sujudlah sekali lagi untuk menguatkan kehinaan/kerendahan Anda yang Anda lakukan pada sujud yang pertama seraya mengulang bacaan pada sujud yang pertama.
- Dalam membaca tah.iyyat rasakanlah kerendahan, kelemahan sekaligus kekurangan Anda, rasakanlah keagungan dan kebesaran Allah.
- Sesudah membaca tah.iyyat ucapkanlah salam kepada Nabi, dan pada waktu itu juga Nabi menjawab salam Anda, sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadits bahwa salam yang disampaikan kepada beliau sampai dan beliau menjawab salam itu. Jangan sampai pikiran Anda melayang-langan ketika mengucapkan salam itu.
- Sesudah itu ucapkanlah salam kepada diri sendiri dengan mengucapkan assalāmu ‘alaynā (“semoga keselamatan ada pada kami”).
- Selanjutnya, ucapkanlah salam kepada hamba-hamba Allah yang saleh, dengan mengucapkan wa ‘alā ‘ibādillāhi’s.-s.ālih.īn (“dan kepada hamba-hamba Allah yang saleh”). Orang-orang saleh itu sangat kita perlukan, karena kita tidak dapat hidup sendiri, kita perlu orang lain, yaitu mereka.
- Sambil mengucapkan syahadat, yaitu penyaksian bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad pesuruh Allah, angkat dan luruskanlah telunjuk Anda. Menurut kebiasaan, dalam memberikan kesaksian dilakukan dengan lisan atau tulisan, mulut yang berbicara atau tangan yang menulis. Dalam tasyahhud keduanya bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad pesuruh Allah.
- Kita akhiri shalat kita dengan menoleh kekanan sambil memberi salam kepada para malaikat yang ada di sebelah kanan kita, lalu menoleh kekiri dan memberi salam kepada para malaikat yang ada di sebelah kiri kita.
- Setelah selesai shalat bacalah,
أَسْتَغْفِرُ اللهَ اْلعَظِيْمَ الَّذِي لا إِلهَ إلاّ هُوَ اْلحَيّ ُ القّيَُّومُ وَأَتُوبُ إليَْه
Saya minta ampun kepada Allah Yang Maha
Agung Yang tidak ada tuhan selain-Nya, Yang Hidup
Kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya)
dan saya bertobat kepada-Nya.
Maksudnya, setelah kita menyelesaikan shalat, kita minta ampun dan bertobat kepada-Nya atas kekurangan yang kita lakukan dalam shalat.
- Kemudian bacalah,
اللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ.
Ya Allah, tolonglah aku dalam mengingat-Mu,
bersyukur kepada-Mu dan menyembah-Mu
dengan sebaik-baiknya.
Doa ini maksudnya, minta pertolongan Allah agar shalat berikutnya menjadi lebih baik.
[Ket.: Doa ini adalah pesan Nabi kepada Mu‘ādh bin Jabal, seperti berikut:
حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ بْنِ مَيْسَرَةَ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يَزِيدَ الْمُقْرِئُ حَدَّثَنَا
حَيْوَةُ بْنُ شُرَيْحٍ قَالَ سَمِعْتُ عُقْبَةَ بْنَ مُسْلِمٍ يَقُولُ حَدَّثَنِي أَبُو عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْحُبُلِيُّ
عَنْ الصُّنَابِحِيِّ عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخَذَ بِيَدِهِ وَقَال
َ يَا مُعَاذُ وَاللَّهِ إِنِّي لَأُحِبُّكَ وَاللَّهِ إِنِّي لَأُحِبُّكَ فَقَالَ أُوصِيكَ يَا مُعَاذُ لَا تَدَعَنَّ فِي دُبُرِ
كُلِّ صَلَاةٍ تَقُولُ اللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ …
(سُنَنُ أبِي دَاؤُد ج٤, ص٣١٨)
… Mu‘ādh bin Jabal menceriterakan bahwa Rasulullah
s.a.w. memegang tangannya dan berkata kepadanya, “O Mu‘ādh,
demi Allah, saya sungguh cinta padamu,demi Allah saya sungguh
cinta padamu,“ lalu berkata, “Saya berpesan kepadamu O Mu‘ādh,
jangan sekali-kali tinggalkan mengucapkan setiap selesai shalat,
..." اللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ (HR Abu Dawud)]
- Lalu bacalah bacaan orang-orang yang masuk surga. Ketika Allah memasukkan mereka kedalam surga sambil memberi salam kepada mereka, yaitu, “Wahai penduduk surga, keselamatan atas kalian,” mereka berkata,
الَلّهُمَّ أَنْتَ السَّلَامُ وَمِنْكَ السَّلَامُ ,
تَبَارَكْتَ يَاذَا اْلجَلَالِ وَالْإكْرَامِ.
Ya Allah, Engkau Maha Sejahtera
dan dari-Mu kesejahteraan, Maha Suci
Engkau, wahai Tuhan Yang memiliki
Kebesaran dan kemuliaan (karunia)
Inilah beberapa hal yang dapat saya petik dari ceramah Ustadz ‘Amr Khālid yang berjudul اَلْخُشُوْعُ فِي الصَّلَاةِ (“Khusyu’ dalam Shalat”) salah-satu dari silsilah ceramah beliau yang berkenaan dengan ibadah. Semoga ceramah beliau khususnya dan tulisan ini umumnya berfaedah bagi pembaca, amin!!!
16. Ketenangan Jiwa (الطُّمَأْنِيْنَة)
oleh Mīkhā’īl Na‘īmah (1889-1988)
Agama Islam mengajarkan bahwa dengan berdhikir (mengingat Allah dan menyebut nama-Nya) hati kita menjadi tenang. Kenapa? Karena kita telah menyerahkan urusan kita kepada Allah, bertawakkal kepada-Nya, tentunya setelah berusaha semaksimal mungkin. Kita percaya dan menerima qada dan qadar-Nya. Seorang penulis dan penyair dari Lebanon bernama Mīkhā’īl Na‘īmah yang dengan kepercayaannya kepada qada dan qadar telah mengungkapkan ketenangan jiwanya dalam sya’irnya yang berjudul al-T.uma’nīnah. Ia telah menulis 99 buku dan menguasai tiga bahasa: Arab, Inggris dan Rusia. Hatinya menjadi tenang setelah membentengi dirinya dengan “bersekutu dengan qada dan bersahabat dengan takdir” yang telah ditentukan Allah kepadanya. Pada baris terakhir dari syairnya ia mengatakan,
وَحَلِيْفِي ْالقَضَاءْ * وَ رَفِيْقِي ْالقَدَرْ
Sedang sekutuku adalah qada’ * dan temanku adalah qadar.
Allah memberinya umur yang panjang, 99 tahun. Terjemahan bebas dari syair tersebut adalah sebagai berikut:
Ketenanga Jiwa
1. Atap rumahku (dari) besi, rumahku dari batu,
Datanglah angin ribut, merataplah O pohon,
Bergeraklah O awan, bawalah hujan lebat,
Menggunturlah O guntur, tak ku takut bahaya,
Atap rumahku (dari) besi, rumahku dari batu.
2. Dari lampu kecilku, kurentang pandanganku,
Dikala malam panjang, kegelapan membentang,
Fajarpun telah lenyap, siangpun telah lalu,
Menghilanglah O bintang, padamlah O rembulan,
Dari lampu kecilku, kurentang pandanganku.
3. Pintu hatiku benteng, dari cemas dan duka,
Seranglah susah duka, pagi maupun petang,
Majulah O bencana, dengan mala petaka,
Ramai-ramai serbulah, O bencana manusia,
Pintu hatiku benteng, dari cemas dan duka.
4. Sekutuku nasibku, sahabatku taqdirku,
Taklukkanlah hatiku, wahai mara bahaya
Galilah kubur O maut, sekeliling rumahku,
Aku tak takut azab, aku tak takut ced(e)ra,
Sekutuku nasibku, sahabatku taqdirku.
Kesimpulan
Khusyu‘ dalam shalat adalah melakukannya dengan khidmat dan kerendahan diri, menghayati sekaligus menghadirkan dalam pikiran gerakan-gerakan yang kita lakukan sebagai pengabdian kepada Allah, seperti menundukkan kepala dan menundukkan pandangan ketempat sujud, - bukan sebagai gerakan robot - dan mengikuti apa kita baca (tadabbur) – bukan sebagai membaca mantra yang sering kita tidak tahu artinya. Maka dari itu, sangat penting untuk mengerti bacaan-bacaan kita. Waktu kita ruku’, kita mengakui keagungan-Nya dengan perbuatan dan pernyataan dari bacaan kita. Demikian juga waktu sujud, kita merendahkan diri dengan serendah-rendahnya dan meletakkan kepala kita sujud ke tanah sambil mengakui-Nya sebagai Allah Yang Maha Tinggi, melalui bacaan yang kita baca waktu sujud. Ketika kita membaca al-Fatihah misalnya, kita berbicara kepada Allah dengan memuji-Nya, mengakui keagungan-Nya, dan meminta hidayat daripada-Nya. Begitu juga bacaan-bacaan lainnya waktu ruku‘, sujud dan membaca tahiyyat.
Sekalipun khusyu‘ tidak termasuk keharusan untuk sahnya shalat, tetapi ia termasuk salah satu dari sekian banyak sunnah dalam shalat untuk menambah kualitas shalat kita. Bacaan-bacaan yang kita baca sebelum, sewaktu, dan sesudah mengambil air wudu’ sangat membantu untuk memasuki shalat dengan khusyu‘.
T.uma’nīnah adalah diamnya anggota badan pada lima tempat: ruku’, i‘tidāl (berdiri dari ruku‘), sujud pertama, duduk sesudah sujud pertama dan sujud kedua. Tanpa uma’nnah ini shalat kita tidak sah. Apabila kita membaca bacaan-bacaan tertentu pada kelima tempat ini dengan pelan-pelan dan merasa yakin bahwa lamanya sudah cukup, berarti kita sudah melakukan uma’nnah. Kalau kita sujud lebih lama lagi, dari segi kesehatan lebih baik.
Kalau dalam t.uma’nīnah anggota badan harus diam pada 5 tempat tersebut di atas, maka dalam khusyu’ anggota badan harus diam selain waktu berpindah posisi, di mana gerak itu harus ada. Jadi, secara umum, khusyu' mengharuskan diamnya anggota badan mulai dari memulai sampai menyelesaikan shalat. Orang yang banyak melakukan gerakan yang tidak perlu di mana ia harus diam - seperti menggaruk-garuk kepala, mengancing baju, mengantongi kembali pena yang jatuh waktu ruku’ dan lain-lain - menunjukkan bahwa ia tidak/kurang khusyu’.
Yoga adalah semacam “shalat” bagi orang Hindu dan mantra adalah semacam “Fatihah”nya dan bacaan-bacaan lain di dalamnya. Sikap badan dalam yoga selain bermanfaat untuk kesehatan dapat juga membuat cedera, laksana pisau bermata dua. Sebaliknya, setiap gerakan dalam shalat mudah dilakukan, bermanfaat untuk kesehatan dan tidak pernah membuat cedera. Allah sengaja membuatnya mudah dilakukan untuk setiap orang yang sehat, supaya tidak ada alasan baginya untuk tidak shalat. Adapun orang yang sakit, kalau badannya sama sekali tidak dapat bergerak, cukup dengan isyarat, dengan hati dan lidahnya. Jika ia tidak dapat menggerakkan lidahnya, cukup dengan hati. Tampaknya lebih mudah, tetapi sebenarnya ia lebih susah karena ia harus ingat selalu di mana posisinya dalam shalat: sedang berdirikah, sedang dudukkah dan pada rakaat berapa ia berada, disamping mengingat bacaannya.
Faedah shalat dari segi rohani sudah bukan hal yang baru lagi. Kita sama-sama pernah mengalami dan merasakannya. Adapun faedahnya dari segi jasmani sudah mulai bermunculan, diketemukan oleh para dokter dibidang mereka masing-masing. Dr. Hembing Wijayakusuma, misalnya, ahli pengobatan tradisional Timur dan Barat termasuk accupunctur mengatakan faedah shalat dari segi kesehatan, mulai dari berdiri sampai memberi salam. Demikian juga Dr. Mohammad Sholeh telah menemukan bahwa shalat thajjud dapat meningkatkan ketahanan tubuh imunologik dan dapat dijadikan suatu pertahanan terhadap serangan kanker. Maka dari itu bukan hal yang mustahil di masa mendatang apabila faedah-faedah shalat dari segi kesehatan diketemukan terus sehingga ia dapat menyaingi popularitasnya yoga di negeri Barat. Karena memang, dari segi apapun, shalat memiliki kelebihan ketimbang yoga. Dari segi postur (sikap badan), misalnya, postur pada shalat jauh lebih baik dari pada postur pada yoga, sebab shalat adalah ciptaan Allah, dibuat sebagai suatu cara untuk menyembah-Nya, termasuk perintah untuk menghadap kiblat, yaitu Ka‘bah. Sedangkan yoga adalah ciptaan manusia, untuk memperlancar hubungan dengan dewa/dewi melalui meditasi, yang konon diciptakan Patanjali dari India, yang hidup kira-kira tahun 150 sebelum Masehi. Belum lagi jika dilihat dari segi bacaan-bacaan dalam shalat yang umumnya diambil dari ayat-ayat suci al-Qur'an (firman Allah), tentu tak dapat dibandingkan dengan mantra dalam yoga yang dibikin manusia.
Pada konteks inilah, berlaku rumus bahwa setiap yang diharamkan dalam Islam selalu ada penggantinya. Minuman keras diharamkan, sebagai penggantinya adalah, air susu, air jus, air madu dan lain-lain. Daging babi haram, maka penggantinya adalah, daging sapi, daging kambing, dan lain-lain. Kalau yoga juga dianggap haram untuk orang Islam oleh sebagian ulama, terutama majlis ulama di Indonesia, Malaysia, Mesir dan Singapura, lalu apa penggantinya? Shalat itulah, dan banyak sekali macamnya, termasuk shalat sunnah yang tidak ada hubungannya dengan shalat lima waktu, seperti shalat Duha, shalat Tahajjud, shalat Tasbih dan shalat Mutlak. Shalat Mutlak ini dapat dilakukan kapan saja – selain waktu yang tidak dibolehkan shalat, yaitu waktu matahari sedang terbit, sedang berada dipuncak cakrawala (zenith) dan waktu sedang tenggelam. Kalau tidak diniatkan berapa rakaatnya, dapat dilakukan seberapapun rakaatnya, dan berhenti kapan saja, sekalipun hanya satu rakaat.
Ustadz ‘Amr Khālid dalam ceramahnya tentang khusyu’ dalam shalat menekankan perlunya konsentrasi dan meninggalkan urusan dunia sejak waktu mulai mengangkat tangan saat takbiratul-ihram, mengikuti dalam hati bacaan-bacaan yang dibaca dan mengerti gerakan-garakan lahiriah dalam shalat. Setiap gerakan lahiriah ada refleksinya dalam hati. Waktu kita mengucapkan syahadat, naik saksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah, pernyataan itu dikuatkan dengan perbuatan, yaitu gerakan telunjuk yang diluruskan. Dalam kehidupan sehari-hari biasanya pernyataan kita biasanya cukup dengan lisan atau tulisan.
Ustadz ‘Amr Khālid memberikan contoh orang-orang yang shalatnya khusyu, seperti Sufyan al-Tsauri (Sufyān al-Thawrī) dan H.ātim. Karena khusyu’nya Sufyan al-Tsawri orang yang melihatnya mengira ia segera akan meninggal dunia. Begitu pun H.ātim yang dalam shalatnya membayangkan Ka‘bah di hadapannya, titian pada telapan kakinya, surga di sebelah kanannya, neraka di sebelah kirinya, Malakul Maut (malaikat yang tugasnya mencabut nyawa makhluk hidup) di belakangnya, Nabi memperhatikan shalatnya, dan ia menganggap inilah shalatnya yang terakhir. Setelah selesai melakukan shalat, ia masih bertanya-tanya apakah shalatnya ini diterima Allah.
Kita juga bertanya-tanya, apakah dalam melakukan shalat khusyu’ ini Sufyan al-Tsauri dan Hatim, berada dalam keadaan releks sebagaimana yang diajarkan dalam buku Pelatihan Shalat Khusyu' karya Abu Sangkan tersebut? Mengapa AGH. Muhammad As‘ad, pendiri pesantren tertua di Sulawesi Selatan dan guru para ulama-besar di daerah itu, masih juga tidak rileks karena tangan dan kepala beliau selalu gemetar setiap memasuki shalat? Dapatkah orang yang gemetar menghadapi sesuatu juga releks? Wallahu a‘lam!!!
Kata Penutup
Alhamdu lillah, segala puji bagi Allah, salam dan salawat atas junjungan kita Nabi Muhammad s.a.w., kepada sahabat dan keluarga beliau, demikian juga para pengikut beliau yang menjunjung tinggi ajaran dan bimbingan beliau, amin.
Selesai sudah Anda membaca buku kecil ini, dan jika di dalamnya Anda merasa telah mendapat suatu informasi tentang shalat khusyu’ menurut apa yang diajarkan di sekolah-sekolah dan madrasah-madrasah, dan kerap disampaikan pada pengajian dan ceramah agama, saya, sebagai penulis, sudah merasa bahagia dan telah mencapai tujuan yang dicita-citakan, lebih-lebih jika Anda mengamalkannya. Jika demikian, alangkah baiknya jika Anda beri juga kesempatan kepada orang lain untuk membacanya.
Sebaliknya, jika Anda merasa buku kecil ini kurang memuaskan, semoga Anda masih juga mendapat pahala dari Allah lantaran membacanya, karena Anda telah berusaha menambah ilmu, kendati yang dibaca kurang memuaskan. Itu tidak mengurangi kegembiraan penulis, dan menjadi suatu kehormatan karena Anda masih sempat membacanya. Semoga jerih payah menulisnya mendapat pahala dari Allah SWT, karena mengikuti perintah Allah, فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ (البقرة, ١٤٨؛ المائدة, ٤٨) “…maka berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebaikan.” (Q. 2:148 dan 5:48). Semoga amal ibadah kita diterima Allah dan shalat kita bertambah khusyu’, sehingga hubungan kita lebih dekat dengan Allah dan dengan hamba-hamba-Nya yang saleh.
Ketika Nabi Ibrahim a.s. selesai mendirikan Ka‘bah dengan anaknya Ismā‘īl, mereka berdoa, dan doa itu pula penulis baca setelah selesai menulis buku kecil ini sebagai bentuk persembahan:
رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيْم (البقرة، ١٢٧)
"Ya Tuhan kami, terimalah daripada kami
(amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
” (Q. 2:127)
آمين يا رَبَّ العالَََمِيْن .
Lampiran A
MANTRA
Kata mantra berasal dari bahasa Sanskerta: man, “berpikir” (atau manas, “pikiran”) dan akhiran tra, “alat” atau “proteksi”. Kata mantra berarti secara harfiah, “alat pikiran” (instrument of thought).
Mantra adalah suara, suku kata, kata, atau sejumlah kata yang dapat membuat suatu perubahan (transformasi). Macamnya banyak, tergantung kepada madzhab dan filsafat yang ada hubungannya dengan mantra. Tujuannya bermacam-macam, termasuk suatu upacara agama untuk menumpuk harta, menghindari bahaya dan membasmi musuh.
Mantra yang sudah menjadi bagian penting dari tradisi agama Hindu dan sudah menjadi praktek tradisi dalam agama Buddha, Sikh dan Janinisme berasal dri tradisi Veda di India. Pada tradisi spirituil di Timur mantra dapat digunakan untuk memelihara pikiran dari keinginan mendasar dari naluri atau kecondongan kepada materialisme dengan memusatkan pikiran kepada suatu idée spirituil, sepert “Saya adalah suatu manifestasi dari kesadaran ilahi.”
Dalam agama Hindu suara yang timbul dari mantra yang dibaca berulang-ulang getarannya dapat membangunkan tenaga hidup spirituil, yaitu Kundalini, bahkan dapat merangsang cakra (“chakra”). Cakra adalah “lingkungan yang berbutar dari aktivitas bioenergetik yang memancar dari saraf ganglia yang utama yang bercabang dari tulang punggung.” Untuk menghitung mantra digunakan malas, yaitu tali tasbih yang berisi 108 butir manik-manik yang digantung di leher, misalnya membaca mantra Om (Aum) Syanti, Syanti, Syanti (“Om Damai, Damai, Damai). Dalam agama Buddha Tibet mantra yang paling populer adalah Om (Aum) Mani Padme Hum (Hung) yang mempunyai arti simbolik yang bertingkat-tingkat dan banyak dibaca orang Tibet pada jam-jam kerja mereka.
Menurut agama Buddha faedah membaca mantra yang disebut Compassion Buddha, yaitu Om mani padme hum, tidak ada batasnya, seperti cakrawala yang tidak berbatas. Dharma (amal saleh) yang paling murni adalah hidup bebas dari ketergantungan kepada dunia dan hanya hidup untuk menyanyikan mantra yang terdiri dari enam suku kata ini. Orang yang membaca mantra ini sepuluh kali malas (10 x 108 = 1 080) dalam sehari, lalu pergi mandi di kali atau laut dan lain-lain, maka air yang disentuhnya mendapat berkat dan membersihkan miliaran dari miliaran makhluk hidup dalam air tersebut. Setiap tahun telah menjadi tradisi orang Buddha untuk mengadakan Compassion Buddha retreat (tempat terasing di mana mantra Compassion Buddha di nyanyikan) di Tibet, Nepal, India dan Ladkh, saat mantra Om mani padme hum dibaca 100 juta kali.
Adapun arti dari mantra om mani padme hum disampaikan oleh Tenzin Gyatso, yaitu Dalai Lama XIV dalam ceramahnya pada Kalmuck Mongolian Buddhist Center, New Jersey di Amerika Serikat tanpa disebutkan tanggalnya. Isinya antara lain sebagai berikut:
Dalam membaca mantra OM MANI PADME HUM seharusnya dipikirkan artinya. 0M (AUM) terdiri dari tiga huruf, yaitu A, U dan M. Ketiga huruf ini adalah lambang dari tubuh, ucapan dan pikirian yang tidak jernih dari orang yang membacanya disamping lambang dari tubuh, ucapan dan pikirian yang jernih dari Buddha. Dalam agama Buddha tidak ada orang yang bebas dari kekhilafan dan memiliki segala sifat yang baik.
Untuk menjernihkan tubuh, ucapan dan pikirian yang tidak jernih adalah dengan melalui jalan kecil yang ditunjukkan oleh empat suku-kata berikutnya, yaitu MA-NI PAD-ME. MANI yang berarti “batu permata” dan melambangkan unsur cara – keinginan yang bersifat altruistik (mementingkan kepentingan orang lain), untuk mendapat pencerahan, perasaan kasihan dan cinta. Seperti halnya batu permata dapat menghapuskan kemiskinan begitu juga pikiran yang altruistik dapat menghapuskan kemelaratan dalam siklus kehidupan [maksudnya: lahir – mati – lahir kembali – mati kembali dan seterusnya sampai mencapai Nirwana] dan kedamaian/ketenangan dalam hidup sendiri. Sebagaimana batu permata dapat memenuhi keinginan makhluk hidup, keinginan yang altruistik untuk mendapat pencerahan dapat memenuhi keinginan makhluk hidup.
PADME yang berarti “teratai” melambangkan kebijaksanaan. Sebagaimana teratai tumbuh pada lumpur tetapi tidak ternoda oleh cacat lumpur, begitu pula kebijaksanaan dapat menempatkan Anda pada situasi yang tidak ada kontradiksi, di mana kontradiksi ini ada jika Anda tidak memiliki kebijaksanaan. Ada kebijaksanaan yang menyadari hal-hal yang tidak permanen, bahwa orang tidak berada dalam kehidupan yang dapat memenuhi segala kebutuhannya, juga kebijaksanaan yang menyadari tidak adanya perbedaan dari kesatuan lahiriah antara subjek dan objek, dan kebijaksanaan menyadari tidak adanya kehidupan yang sifatnya permanen. Sekalipun kebijaksanaan itu banyak macamnya, kebijaksanaan yang paling penting adalah menjadari adanya kehampaan itu.
Kesucian (kejernihan) harus dicapai dengan kesatuan cara dan kebijaksanaan dilambangkan dengan suku-kata terakhir HUM yang menunjukkan tidak adanya pembagian antara keduanya. Keenam suku-kata OM MA-NI PAD-ME HUM menujukkan bahwa bersandarkan kepada praktek kesatuan yang tak terbagi antara cara dan kebijaksanaan, Anda dapat merobah tubuh, ucapan dan pikiran Anda yang tidak jernih menjadi tubuh, ucapan dan pikiran Buddha yang jernih.
Lampiran B
Sya‘ir Mkhā’l Na‘mah, Not dan Lagunya
الطُّمَأْنِيْنَة
(مِيْخَائِيْلْ نَعِيْمَة)
سَقْفُ بَيْتِىْ حَدِيْدْ * رُكْنُ بَيْـتِيْ حَجَرْ Saqfu baytī h.adīd * ruknu baytī h.ajar
فا عْصِفـِيْ يَا ِريَاحْ * وَا ْنتَحِبْ يَا شَجَرْ Fa‘s.ifī yā riyāh. * wa’ntah.ib yā shajar
وَاسْبَحِيْ يَا غُـُيْوْم * وَاْهطِـلِيْ ِباْلمَطَرْ Wa’sbah.ī yā ghuyūm * wa’ht.ilī bil mat.ar
وَ اقْصِفِيْ يَا رُعُـْودْ * لَسْتُ أَخْشَى خَطَرْWa’qs.ifī yā ru‘ūd * lastu akhshā khat.ar
سَقْفُ بَيْتِىْ حَدِيْدْ * رُكْنُ بَيْـتِيْ حَجَرْ Saqfu baytī h.adīd * ruknu baytī h.ajar
مِنْ سِرَاجِي الضَّئِيْلْ * أسْتَـِمدُّ ْالبَصَرْMin sirājid. d.a’īl * astamid dul bas.ar
كُلَّمَا اللَّيْلُ طـَالْ * وَ الظَّلَامُ انْـَتشَرْKullamal-laylu t.āl * waz.-z.alāmu’ntashar
وَ إذَا اْلفَجْرُ مَاتْ * وَ النَّهَارُ اْنتَـحَرْWa idhal fajru māt * wan-nahāru ‘ntah.ar
فاَ ْختَفِيْ يَا نُجُوْمْ * وَ اْنطَفِيْ يَاقَمَـرْ Fa’khtafī yā nujūm * wa’nt.tafī yā qamar
مِنْ سِرَاجِي الضَّئِيْلْ * أسْتَـِمدُّ ْالبَصَرْ Min sirājid. d.a’īl * astamid dul bas.ar
بَابُ قَلْبِيْ حَصِيْنْ * مِنْ صُنُوْفِ ْالكَدَرْ Bābu qalbī h.as.īn * min s.unūfi’l-kadar
فَاهْجُمِيْ يَا هُمُوْمْ * ِفي اْلمَسَا وَ السَّحَرْFahjumī yā humūm * fi’l-masā was-sah.ar
وَ ازْحَفِيْ يَا نُحُوْسْ * ِبالشَّقَا وَ الضَّجَـرْ Wa’zh.afī yā nuh.ūs * bish-shaqā wa’d.-d.ajar
وَ انْزِلِيْ بِاْلأُلُوْفْ * يَا خُطُوْطَ اْلبَشَـرْ Wa’nzilī bi’l-ulūf * yā khut.ūt.a’l-bashar
Bābu qalbī h.as.īn * min s.unūfi’l-kadar بَابُ قَلْبِيْ حَصِيْنْ * مِنْ صُنُوْفِ الْكَدَرْ
و حَلِيْفِي ْالقَـضَاءْ * وَ رَفِيْقِي ْالقَـدَرْ Wa h.alīfi’l-qad.ā * wa rafīqī’l qadar
فَاقْدَحِيْ يَا شُـرُوْرْ * حَوْلَ قَلْبِي الشَّرَرْFa’qdah.ī yā shurūr * h.awla qalbīsh-sharar
وَ احْفِرِيْ يَا مَـُنوْنْ * حَوْلَ بَيْتِيْ الْحُفَرْWa’h.firī yā manūn * h.awla baytī’l -h.ufar
لَسْتُ أَخْشَى ْالعَذَابْ * لَسْتُ أَخْشَى الضَّرَرْ Lastu akhshā’l-‘adhāb * lastu akhsha’d.-d.arar
وَ حَلِيْفِي ْالقَـضَاءْ * وَ رَفِيْقِي ْالقَـدَرْ Wa h.alīfi’l-qad.ā * wa rafīqī’l qadar
Keterangan
1. Dalam membaca syair di atas, apabila suku kata dalam huruf tebal ditekan membacanya, maka akan terjadilah irama yang seperti berikut: --.- -.- * -.- -.- .
2. Terjemahannya dalam bahasa Indonesia dapat juga dibaca menurut irama sebagai berikut:
-.-.-.- * -.-.-.- misalnya
Atap rumahku besi (“dari” tidak dibaca)
Rumahku dari batu
Datanglah angin ribut
Merataplah O pohon, dan seterusnya.
3. Bagi yang dapat membaca not musik dan ingin menyanyikannya dalam bahasa Indonesia, dapat mencobanya dengan menyesuaikan iramanya.
4. Bagi mereka yang sedang mempelajari bahasa Arab, diharapkan sya’ir ini dapat juga menolong mereka untuk menambah perbendaharaan kata-kata bahasa Arab mereka.
[not lagu]
Bibliografi
A. Buku
Alkitab (Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru). Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 1984.
Buku Kegiatan Amaliyah Ramadhan untuk SD/MI oleh Departement Agama Kantor Wilayah Propinsi Sulawesi Selatan pada tahun 2001
Collier’s Encyclopedia. 24 vols. London and New York: P.F. Collier, Inc.,1989.
Cross, Stephen. The Elements of Hinduism. Brisbane: Element Books Ltd., 1994.
Drury, Nevill. The Healing Power: A Handbook of Alternative Medicine and Natural Health. French’s Forest, NSW: The Australia & New Zealand Book Co. Ltd., 1981.
Echols, John M. and Shadily, Hassan. An English-IndonesianDictionary. Ithaca and London: Cornell University Press, 1975.
Funk & Wagnalls. Standard Dictionary of the English Language. New York: Funk & Wagnalls, 1974.
Ganeri, Anita. What Do We Know about Hinduism? Hove, East Sussex: Macdoland Young Books, 1995.
Holy Bible: New International Version. East Brunswick, N.J.: International Bible Society, 1984.
The New Hutchinson 20th Century Encuclopedia (ed. E.M. Horsley. Hutchinson, Australia, 1977.
The Hutchinson Softback Encyclopedia (Unabridged). Oxford: Helicon Publishing Ltd, 1992.
Interpretation of the Meanings of the Noble Qur’an in the English Language. Riyadh: Ministry of Islamic Affairs, Endowments, Da‘wah and Guidance, n.d.
Pelletier, Kenneth R. Mind as Healer, Mind as Slayer. London: George Allen & Unwin, 1978.
Penney, Sue. Hinduism. Oxford: Heinemann Library, 1997.
Al-Qur’an dan Terjemahannya. Departemen Agama R.I., 2004.
Ruslan, H. Muhammad M.A. ed. et al., Ulama Sulawesi Selatan; Biografi Pendidikan & Dakwah. Makassar: Komisi Informasi dan Komunikasi MUI, 1428 H/207 M.
Schuffmann, Erisch. Yoga: The Spirit and Practice of Moving Into Stillness. New York: Pocket Books, 1996.
Webster. Popular Encyclopedia. London: Random Century Group, 1991.
Wehr, Hans. A Dictionary of Modern Written Arabic. Edited by J. Milton Cowan. 3rd ed. Ithaca (N.Y.): Spoken Language Services, 1976.
إِبْنُ اْلجَوْزِي, جَمَالُ الدِّيْن أَبوُ اْلفَرَجِ عَبْدُ الرَّحْمن (ت. ٥٩٧ ﻫ /١٢٠١ م). نُزْهَةُ اْلأَعْيُنِ النَّوَاظِرِ فِيْ عِلْمِ اْلوُجُوْهِ وَالنَّظَائِرِ. دِرَاسَة وَ تَحْقِيْق مُحَمَّد عَبْدُ اْلكَرِيْم كَاظِم الرَّاضِي. بَيْرُوْت: مُؤَسَّسَةُ الرِّسَالَة, ١٤٠٥ هـ / ٩٨٥ م..
إبْنُ عَبَّاس, عَبْدُ الله ر.ع. (ت. ٦٨هـ /٦٨٧م). كِتَابُ غَرِيْبِ الْقُرْآن. . حَقَّقَهُ وَقَدَّمِ لَهُ دُكْتُوْر أَحْمَد بُوْلُوْط. القَاهِرَة: مَكْتَبَةُ الزَّهْرَاء, ١٩٩٣م.
إبْنُ قُتَيْبَة, أَبُوْ مُحَمَّد عَبْدُ الله بْنُ مُسْلِم (ت. ٢٧٦ هـ/٨٨٩ م). تَفْسِيْرُ غرِيْبِ اْلقُرْآن. بَيْرُوْت: دَارُ اْلُكُتُبِ اْلعِلْمِيّة, ١٣٩٨ هـ/١٩٧٨ م.
الأَصْفَهَانِيْ , العَلَّامَةُ الرَّاغِبُ (اْلمُتَوَفَّى فِيْ حُدُوْد ٤٢٥ﻫ /١٠٣٤ م ). مُفْرَدَاتُ ألْفَاظْ اْلقُرْآن. تَحْقِيْقُ صَفْوَان عَدْنَان دَاءُوْدِي. دِمَشْق : دَارُ اْلقَلَم . بَيْرُوْت: دَارُ ا لشَّاِمَية , الطَّبْعًةُ اْلأُوْلَى , ١٤١٢هـ /١٩٩٢ م.
الدَّامَغَانِي, الحْسَيَنُ بْنُ مُحَمَّد (ت. ٤٧٨ هـ/١٠٨٥ م) . قَامُوْسُ اْلقُرْآنِ أَوْ ِإصْلَاحُ اْلوُجُوْهِ وَ النَّظَائِرِ فِي اْلقُرْآنِ اْلكَرِيْم. حَقَّقَهُ وَرَتَّبَهُ وَأَكْمَلَهُ وَأَصْلَحَهُ عَبْدُ الْعَزِيْز سَيِّدُ اْلأَهْل. الطَّبْعَةُ الرَّابِعَة. بَيْرُوْت: دَارُ اْلعِلْمِ لِلْمَلآيِيْن, ١٩٨٣م.
الغزَالِيْ, مُحَمَّد. السُّنَّةُ النَّبَوِيَّةُ بَِيْنَ أَهْلِ الفِقْهِ .. وَ أَهْلِ الحَدِيْث. الطَّبْعَةُ العَاشِرَة. القَاهِرَة/بَيْرُوْت: دَارٌ الشُّروْق,١٩٩٢م
الزُّحَيْلِي, الدُّكْتُوْر وَهُبَة. أَلْفِقْهُ اْلإِسْلَامِيْ وَأَدِلَّتُهُ,١١ج. دِمَشْق: دَارُ اْلفِكْر,١٤٢٧هـ / ٢٠٠٧م
B. CD
Program Maktabah Syāmilah: أَلْمَكْتَبَةُ الشَّامِلَة: أََسْبَابُ النُّزُوْل لِلْوَاحِدِيْ ,عَلِيّ بْنُ أَحْمَد (ت. ٤٦٨ هـ /١٠٧٥ م)
اْلأَوْسَطُ لِإبْنِ اْلمُنْذِر, مُحَمَّد بْنُ إِبْرَاهِيْم النِّيْسَابُوْرِي (٢٤٢–٣١٩ هـ/٨٥٦–٩٣١ م)
بَحْرُ اْلعُلُوْم لِلسَّمَرْقَنْدِي (أَبُو اللَّيْث, ت. ٣٧٥هـ/٩٨٥م)
تَفْسِيْر إبْن كَثِيْر, إسْمَاعِيْل ٧٠١)-٧٧٤هـ/١٣٠٢-١٣٧٣ م)
تَفْسِيْر بَحْر الْمُحِيْط لِأَبِي حَيَّان الأَنْدَلُسِي (ت. ٧٥٤هـ/١٣٥٣ م)
تَفْسِيْر الطَّبَرِي, ِإبْنُ جَرِيْر (٢٢٤- ٣١٠هـ /٨٣٩-٩٢٣م)
تَفْسِيْر الْقُرْطُبِي , أَبُوْ عَبْدِ الله مُحَمَّد بْنُ أَحْمَد اْلأَنْصَارِي (٦٠٠-٦٧١هـ/١٢٠٤-١٢٧٣م)
سُنَنُ إبْنِ مَاجَة, أَبُوْ عَبْدِ الله مُحَمَد بْنُ يَزِيْد (٢٢٧-٢٧٣هـ/٨٤٢-٨٨٧ م)
سُنَنُ أَبِي دَاءُوْد, سُلَيْمَانُ بْنُ أَشْعَث السِّجِسْتَانِي (٢٠٢-٢٧٥ هـ/٨١٧-٨٨٨ م)
السُنَنُ الكُبْرَى للبَيْهَقِي, أَحَمَّد ْبنُ الحُسَيْن بْنُ عَلِيّ (٣٨٤-٤٥٨ هـ/٩٩٥-١٠٦٩م )
سُنَنُ الدَّارَقُطْنِي, ِأَبُو الْحَسَنِ عَلِيُّ بْنُ عُمَرَ بْنُ أَحْمَدُ (٣٠٦-٣٨٥ هـ/٩١٩-٩٩٧م)
سُنَنُ النَّسَائِي, أَحْمَدُ بْنُ شُعَيْب (٢١٤-٣٠٣ هـ/٨٢٩-٩١٥ م)
صَحِيْحُ إَبْنِ خُزَيْمَة (ت. ٣٠٩ هـ/٩٢٣ م)
صَحِيْحُ اْلبُخَارِي, مُحَمَّد بْنُ إسْمَاعِيْل (١٩٤-٢٥٦ هـ/٨١٠-٨٧٠ م)
صَحِيْحُ مُسْلِم, أَبُوْ اْلحُسَيْن مُسْلِم بْنُ حَجَّاج النِّيْسَابُوْرِي (٢٠٦-٢٦١ هـ/٨٢١-٨٧٥ م)
اْلكَشَّافُ لِلزَّمَخْشَرِي, أَبُو اْلقَاسِم مُحَمَّد بْنُ عُمَر (٤٦٧-٥٣٨هـ/١٠٧٥-١١٤٣ م)
مُسْنَدُ أَحْمَد بْنُ مُحَمَّد بْنُ حَنْبَل (١٦٤-٢٤١ هـ/٧٨٠-٨٥٥ م)
مُوْطَّأُ مَالِك بْنِ أَنَس ْبنِ مَالِك (٩٣-١٧٩ هـ/٧١١-٧٩٥ م)
نُظُم ُالدُّرَرِفِي تَنَاسُبِاْلآيِ وَالسُّوَر لِلْبِقَاعِي, بُرْهَانُ الدِّيْن إِبْرَاهِيْم بْنُ عُمَر(٨٠٩-٨٥٥ هـ/١٤٠٦-١٤٥١ م)
C. Internet
http://blog-artikel-menarik.blogspot.com/2008/01/shalat-tahajjud-meninggkatkan-kekebalan.html
http://en.wikipedia.org/wiki/chakra
http://en.wikipedia.org/
http://e.wikipedia.org/wiki/Hinduism
http://en.wikipedia.org/wiki/Mantra
http://en.wikipedia.org/wiki/Yoga_as_exercise_or_alternative_med....
http://www.fpmt.org/teachings/lzr/ommanibenefits.asp).
http://www.guardian.co.uk /commentisfree/belief/2009/jan/27/istan
http://www.indianexpress.com/news/deoband-intervenes-muslims...
http://mustdhani.blogspot.com/2008/11/shalat-untuk-pengobatan-dan-kesehatan.html
http://www.dharmaweb.org/index.php/On_the_meaning_of_
Om_MANI_PADME_HUM,_by_Tenzin_Gyats
D. Kaset
الأُسْتَاذ عَمْرُو خَالِد: الْخُشُوْعُ فِي الصَّلَاةِ: سِلْسِلَةُ اْلعِبَادَات. ]اْلقَاهِرَة[ :تَسْجِيْلَاتُ الرَّاَية, د.ت.
Kaset Ceramah Ustadz ‘Amr Khālid tentang Khusyu‘ dalam Shalat (tanpa tanggal)
E. Makalah
Saenong, Faried F. “In Search of Barakka’ and Authenticity: Global Network of Pesantren and ‘Ulamā’ in South Sulawesi (Indonesia).” Makalah yang disampaikan dalam Konferensi Internasional SSRC “Inter-Asia Connection,” Dubai (21 Peb. 2008).
تَمَّ اْلكِتَابُ وَ اْلحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ اْلعَالَمِيْن
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment